Menjadi seorang rekruter sebenarnya bukanlah pekerjaan impian saya, tapi karena proses pembelajaran dan pengaruh lingkungan ketika saya kuliah, maka akhirnya saya-pun terjerumus ke dalam dunia rekrutmen. Dan, pekerjaan profesional pertama saya adalah sebagai Recruitment Staff. Mungkin karena saya memiliki jiwa adventurir, saya mudah bosan pada pekerjaan rekrutmen yang memang cukup monoton jika dibandingkan dengan area lain dalam bidang Human Resource. Dan sebagai akibatnya, saya sering melirik-lirik area HR yang lain, seperti training dan pengembangan organisasi. Namun, pandangan saya akan pekerjaan rekrutmen yang monoton berubah ketika saya bekerja di Merauke. Rekrutmen tidak saja sekedar pekerjaan mempublikasikan lowongan dan kemudian menseleksi, tapi juga sebuah pekerjaan memberdayakan masyarakat. Dan, alih-alih rekrutmen sebagai pekerjaan yang monoton, rekrutmen-pun jadi pekerjaan yang penuh dengan resiko.
Bekerja sebagai seorang rekruter di Merauke harus memiliki teknik mengelola emosi yang baik karena berhadapan dengan pelamar kerja dan calon karyawan membutuhkan kesabaran yang ekstra mengingat rata-rata SDM di Merauke jarang yang bekerja di sektor formal sehingga banyak dari pelamar yang tidak memahami prosedur rekrutmen dan seleksi. Selain itu, bekerja sebagai rekruter di Merauke juga harus siap diserang dengan isu rasialis. Seperti daerah-daerah Indonesia Timur lainnya, Merauke adalah daerah yang memiliki potensi Sumber Daya Alam yang cukup besar, namun tidak semuanya dapat dinikmati oleh penduduk asli, seperti halnya kasus Freeport karena ketika sebuah perusahaan besar masuk, maka SDM lokal banyak dikalahkan oleh SDM pendatang.
Bulan pertama saya bekerja di Merauke, saya didemo oleh belasan pelamar kerja. Mereka menuntut saya untuk mempekerjakan orang asli. Muka saya ditunjuk-tunjuk. Duh...mau copot rasanya jantung ini!
Ibu ini pilih-pilih orang yang masuk. Yang diterima selalu yang berambut lurus, kulit putih. Kalau begitu...ganti saja nama perusahaan ini jadi M**** Jawa.
Saya terkejut mendengar tuntutan mereka karena tak pernah terlintas sedikit-pun bahwa perusahaan kami akan menerapkan diskriminasi ras seperti yang mereka tuduhkan, bahkan dari awal kami sudah diwanti-wanti oleh BOD untuk memprioritaskan tenaga lokal karena tidak ingin menjadi Freeport kedua. Tapi, rupanya bekerja di daerah Indonesia Timur memang tak semudah di Indonesia Barat, terutama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat lokal. Saya sudah beratus-ratus kali menyampaikan pada mereka bahwa kami tidak melakukan diskriminasi, dan kami melakukan rekrutmen berdasarkan keahlian, tapi apa yang saya sampaikan rupanya hanya dipahami dalam waktu singkat saja. Beberapa minggu kemudian bisa dipastikan mereka akan menyatroni kantor lagi untuk menuntut pekerjaan. Posisi saya jadi terjepit karena mereka yang menuntut pekerjaan rata-rata tidak memiliki pengalaman atau jika ada, memiliki attitude yang kurang baik dan banyak yang tidak memenuhi syarat pekerjaan, seperti tingkat pendidikan dan usia. Sampai dengan saat ini, saya masih belum menemukan cara yang efektif untuk memberikan pemahaman pada mereka bahwa perusahaan merekrut berdasarkan kompetensi dan ada prosedur-prosedur yang harus ditaati dalam penyelenggaraan rekrutmen.
Adakah yang bisa memberikan saran untuk saya ?
Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April, tahun ini jatuh pada hari Rabu. Mengapa Bumi diberi hari khusus ? Karena Bumi adalah tempat kita bernaung, tempat kita diberi kehidupan oleh Tuhan sebagai manusia sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya jika Bumi kita hargai. Lantas mengapa saya baru menulis tentang Bumi di hari Jumat, sementara banyak orang sudah mencapai klimaks membicarakan tentang Bumi di hari Rabu ? Ya hanya satu jawabannya...karena saya ingin membuka wacana baru bahwa Bumi ada untuk kita setiap hari, dari kita menghirup nafas sampai kita menghembuskan nafas terakhir, sehingga bicara tentang Bumi dan membalas budi baik sang Bumi tidak terbatas pada jam, hari, bulan dan tahun khusus, tapi harus kita lakukan setiap hari.
Tapi bicara saja tak cukup jika menyangkut tentang Bumi karena Bumi tidak lagi memerlukan kata-kata, tapi tindakan karena Bumi sudah semakin lelah menampung semua penghuninya selama jutaan tahun. Jadi, apa yang sudah Anda lakukan untuk Bumi ?
Saya sendiri sadar bahwa saya belum berbuat banyak untuk Bumi, apa yang saya lakukan bahkan banyak yang masih di angan-angan, tidak tercetus dalam kata-kata, apalagi dalam tindakan. Inilah beberapa hal yang sudah saya lakukan untuk Bumi :
1. mematikan kran air ketika sedang mencuci tangan, tidak membiarkan air terus mengalir ketika saya sedang mencuci tangan dengan sabun dan baru menghidupkannya kembali ketika akan membasuh tangan
2. mematikan lampu ruangan kantor ketika jam istirahat
3. mematikan lampu kamar jika tidur
4. mencopot charger dari colokan ketika sudah tidak dipakai
5. mematikan seluruh aliran listrik jika bepergian (tidak membiarkannya dalam keadaan stand by)
6. lebih suka berjalan kaki daripada naik ojek jika jaraknya masih masuk akal untuk ditempuh dengan kaki
7. lebih suka makan di tempat daripada membungkus
8. sebisa mungkin menghabiskan makanan, tidak menyisakan makanan
9. menggunakan kertas bekas
10. berusaha membawa kantong belanjaan sendiri untuk menghindari penggunaan plastik
Ternyata, saya baru melakukan 10 hal saja untuk Bumi padahal Bumi sudah melakukan banyak hal untuk saya sepanjang saya menghirup nafas kehidupan. Semoga saja Anda melakukan lebih banyak tindakan baik untuk Bumi, dibandingkan dengan saya.
Avignam jagad samagram!
Perempuan, dimanapun mereka berada, akan selalu menarik perhatian karena perempuan adalah ciptaan Tuhan yang penuh misteri-lembut sekaligus tegar, ringkih sekaligus kuat-dan penuh pesona. Oleh karena itu, perempuan kerap kali menjadi objek yang diperebutkan oleh berbagai pihak karena pesonanya itu, terutama oleh lawan jenisnya.
Perempuan memang tak pernah habisnya sebagai bahan tulisan ataupun bahan diskusi karena perempuan adalah makhluk Tuhan yang mampu melakukan berbagai macam peran di balik tubuhnya yang gemulai dan terkesan lemah itu. Bahkan, perempuan memiliki berbagai macam hari yang diperingati khusus, seperti hari Ibu dan hari Kartini. Tapi, di tengah-tengah segala keistimewaan dan keelokannya itu, perempuan masih seringkali dipandang dengan sebelah mata, bahkan kadang mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi, seperti kasus yang baru saja dialami oleh artis cantik Indonesia di negeri seberang. Ia adalah seorang perempuan yang dianugerahi kecantikan mempesona, namun sayangnya ia mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya dari laki-laki yang telah menjadi suaminya. Ia mengalami kekerasan di dalam istana megah yang diberikan kepadanya. Ternyata, kekerasan pada perempuan tak memandang status sosial ekonomi dan derajat pesona-nya. Apa yang menyebabkan perempuan kerap menjadi objek penderita ? Menurut saya, karena perempuan tak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam kehidupan masyarakat, apalagi dalam masyarakat Indonesia, dimana laki-laki masih memegang peranan sebagai 'nahkoda rumah tangga'. Selain itu, perempuan juga memiliki harta yang sangat berharga yang selalu melekat pada dirinya dan dibawa kemanapun mereka pergi, hingga mereka mati, yaitu 'kehormatan' *bisa dibaca sebagai keperawanan*. Dan karena sifat dasar manusia adalah rakus, maka harta berharga milik perempuan-pun tak luput dari incaran untuk dikuasai, dimiliki secara paksa, sehingga kemudian muncullah kasus-kasus penganiyaan terhadap perempuan demi memperebutkan harta tersebut. Perempuan-pun kerap menjadi sasaran pelecehan karena perempuan sering sekali dipandang dari satu sudut pandang saja, yaitu dari segi fisik. Perempuan acap kali dipandang sebagai makhluk yang tak memiliki otak sehingga tak mampu menghasilkan karya hebat dan akibatnya, perempuan-pun mendapatkan perlakuan yang tak senonoh. Sungguh ironis hidup seorang perempuan. Dianugerahi Tuhan dengan berbagai macam pesona agar dapat hidup bahagia, tapi juga kerap kali menanggung derita karena pesona itu.
Tapi, perempuan tak selamanya diam. Perempuan adalah makhluk yang dianugerahi Tuhan berlapis-lapis ketegaran sehingga mereka tak pernah menyerah dengan segala perlakuan lingkungan yang memandangnya rendah. Oleh karena itu, kita seringkali mendengar kisah-kisah tentang perempuan yang berhasil dalam bidangnya, bahkan melebihi prestasi laki-laki. Bahkan Indonesia pernah mencatat dalam sejarahnya pernah memiliki seorang presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri. Hal ini membuktikan bahwa perempuan kini tak lagi bisa dipandang remeh dan rendah. Perempuan dengan segala pesonanya layak untuk mendapatkan tempat yang sejajar dengan laki-laki di dunia ini.
Perempuan diciptakan oleh Tuhan dari tulang rusuk laki-laki sehingga ia dapat berjalan bersisihan dengan laki-laki dalam menjalani hidup ini, bukan di atas laki-laki apalagi diinjak oleh laki-laki.
Hidup Perempuan! Selamat Hari Kartini untuk seluruh kaum Perempuan di Indonesia! Anda adalah orang-orang hebat!
Semalam, saya melihat program yang cukup bagus di RCTI, yaitu program Bedah Rumah. Program ini ditayangkan setiap hari Kamis dan Jumat, pk. 18.15 WIT. Program ini bertujuan untuk menyentuh rasa kemanusiaan para pemirsanya, karena dalam program ini akan disajikan sebuah potret kehidupan dari orang-orang yang terpinggirkan dimana mereka adalah orang-orang yang sangat miskin namun berhati emas *tekun, ulet, tak pantang menyerah, sederhana*, yang tak mampu membangun rumah yang layak. Untuk menarik perhatian, program ini mengikutsertakan artis yang diminta untuk menyelami kehidupan para 'target bedah rumah'. Setelah sehari semalam tinggal bersama mereka, sang bintang tamu akan memberikan hadiah berupa tulisan, yaitu "Selamat! Rumah Anda akan kami bedah" dan sim salabim...dalam waktu yang singkat, hanya beberapa jam saja, rumah yang tadinya tak layak huni menjadi tak sekedar layak huni, tapi juga tampak elegan dengan desain eksterior dan interior yang sangat apik. Sebuah program yang bagus kan ?
Yang membuat saya penasaran adalah...apakah rumah yang telah dibedah itu akan awet mengingat dibangun hanya dalam waktu singkat ? Kemudian, apakah nantinya sang empunya rumah akan sanggup membiayai perawatan rumah dan segala perlengkapannya ? Saya sering memperhatikan, sebelum dibedah mereka tidak memiliki pesawat TV ataupun lemari es, tapi setelah dibedah mereka jadi punya segala macam peralatan elektronik dengan spesifikasi produk yang cukup mewah. Darimana mereka akan membayar tagihan listriknya ya? Dan, saya jadi khawatir bahwa nantinya mereka tidak dapat menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang sempat diributkan oleh partai-partai politik saat kampanye pemilu kemarin, karena dengan tampilan rumah yang bagus mereka akan dicap sebagai kalangan berpunya. Duh...semoga saja hal-hal yang saya kuatirkan di atas sudah dipikirkan oleh penggagas program briliyian ini!
Sayangnya, program ini hanya diadakan di sekitar kota Jakarta saja, tidak menyentuh propinsi lain *atau saya yang tidak tahu ya?* Padahal, jika kita melihat daerah lain, misalnya Merauke *contoh yang sangat gampang karena saya tinggal disini*, ada banyak rumah yang lebih tidak layak huni dibandingkan dengan rumah-rumah yang masuk program bedah rumah. Rata-rata rumah di kabupaten Merauke didirikan atas bantuan pemerintah, terutama rumah untuk masyarakat lokal dan masyarakat transmigran. Memang ada banyak rumah bantuan yang akhirnya berkembang menjadi rumah yang nyaman untuk jadi tempat tinggal, tapi masih banyak juga rumah yang semakin bobrok hingga kondisinya mengkhawatirkan. Rumah-rumah ini terbuat dari papan kayu dengan ukuran sekitar 4x5m dengan kamar mandi dan WC yang terpisah jauh dari rumah. Listrik-pun seringkali tak mereka miliki. Apakah ini bisa disebut layak huni ? Seringkali ketika melewati rumah-rumah tersebut saya tidak percaya bahwa saya masih ada di Indonesia, karena saya terbiasa melihat rumah tembok dengan desain arsitektur yang canggih dan dilengkapi dengan 'isi rumah' yang cukup komplit. *saya harus mengucap syukur berkali-kali setiap kali melihat rumah papan itu*
Duh...kenapa ya program Bedah Rumah tidak diadakan di Merauke juga ?
Foto diambil di Muara Bian.
Rumah di atas masih termasuk dalam kategori rumah papan yang cukup besar dan layak di Merauke
Kemarin saya menemukan satu forum di internet yang menarik untuk diikuti, yaitu Klinik Fotografi Kompas. Forum ini berisi orang-orang yang mencintai dunia fotografi dan mempublikasikan karya-karyanya secara terbuka. Saya tertarik untuk mengikuti forum ini karena saya baru mencoba terjun dalam aktivitas baru, yaitu fotografi. Saya sebenarnya tertarik dengan dunia fotografi sudah lama, tapi baru benar-benar tertarik ketika mengikuti sebuah even yang diselenggarakan oleh Indo Backpacker, yaitu Jakarta Journey II. Waktu itu, saya tidak bawa kamera sama sekali karena memang tidak punya, dan saya sangat iri pada teman-teman yang tampak asyik jeprat jepret di sana sini. Dan, lebih mupeng lagi ketika mereka memamerkan hasil fotonya. Duh...saya juga mau! Dan akhirnya, setelah menabung cukup lama, saya akhirnya punya kamera juga. Kamera pertama saya adalah Canon EOS 1000D yang saya beli secara online *nekat mode on* karena saya tidak sabar untuk segera punya kamera. Jepretan pertama saya adalah kamar saya sendiri. Hehehe...
Tapi, menjadi fotografer yang apik ternyata tak cukup hanya bermodalkan kamera bagus saja. Hal ini saya buktikan sendiri. Latihan yang rutin dan rajin bertanya pada yang sudah ahli adalah salah satu kunci sukses untuk dapat menghasilkan foto yang bagus. Dan, kunci sukses lainnya adalah keberanian atau percaya diri. Yup...menjadi fotografer ternyata juga butuh keberanian dan rasa percaya diri, terutama jika Anda tertarik pada tema kehidupan sehari-hari. Saya yang tertarik pada pemandangan / landscape dan kegiatan manusia sangat bermasalah dengan keberanian dan kepercayaan diri. Mengabadikan sebuah moment dengan tema kegiatan manusia sangatlah tidak mudah, apalagi jika kita ingin menangkap peristiwa-peristiwa natural. Beberapa waktu yang lalu, saya mencoba memotret kehidupan masyarakat di tepi pantai dan juga ekspresi wajah teman-teman yang sedang menunggu jemputan kendaraan, tapi saya gagal. Saya gagal mengabadikan pose-pose natural karena setiap kali saya membidikkan kamera, teman-teman langsung berpose. Dan, ketika saya ingin mengabadikan foto masyarakat asli yang sedang melakukan aktivitas sehari-hari, saya merasa takut kalau mereka menangkap basah saya yang sedang memotret dan akhirnya berprasangka buruk. Akhirnya, saya tidak memotret yang saya inginkan. Pikiran-pikiran seperti itulah yang akhirnya menghambat saya menghasilkan karya-karya apik. Selain perasaan takut, saya juga sering minder memotret moment atau sesuatu yang saya inginkan karena setiap kali saya mengeluarkan kamera, saya langsung ditatap beberapa pasang mata di sekeliling saya *atau hanya perasaan saya saja ya?* karena kamera saya yang cukup menonjol secara ukuran dan bentuk fisiknya. Saya kurang PD, takut dianggap norak dan aneh. Hehehehe...apa ini sindrom pemula ya?
Selain takut dan kurang PD, saya juga banyak berpikir ketika akan mengambil foto sehingga saya sering lambat memutuskan untuk memotret atau tidak. Alhasil...saya sering kehilangan moment bagus. Hmm...tampaknya masih butuh waktu yang lama bagi saya untuk tak sekedar menjadi 'fotografer gadungan'. Tapi, saya mulai mengikis rasa tidak PD dan ketakutan yang 'nggak mutu' ini dengan mencoba mem-publikasikan foto saya di KFK. Berikan feed back Anda sebagai pemicu kreativitas saya di dunia fotografi!
Beberapa hari ini, saya tertarik mengamati sekumpulan laki-laki yang menimba air dari sumur di pinggir jalan. Sebenarnya ketertarikan saya akan aktivitas mereka sudah sejak dulu, tapi baru terjawab ketika hari libur kemarin di rumah salah seorang teman. Mereka menggunakan jasa para lelaki perkasa ini untuk mensuplai air yang digunakan untuk menyambung hidup sehari-hari, seperti memasak, mandi, dan lain-lain. Dan, harga yang harus dibayar untuk 13 jerigen air ini tergantung dari jarak tempuh sang lelaki perkasa dari sumber air ke rumah-rumah pelanggannya. Teman saya, yang rumahnya berjarak sekitar 4 km dari sumber air harus merogoh kantongnya agak dalam untuk mengeluarkan uang Rp. 40.000. Harga yang sangat mahal untuk air, tapi apa daya...yang dibeli bukan saja air tapi juga tenaga para lelaki perkasa yang menyusuri jalanan aspal panas dengan kaki telanjang.
Air memang sumber kehidupan, tapi saya baru benar-benar menyadarinya ketika berada di Merauke. Topografi Merauke yang berupa dataran rendah dan nyaris dipenuhi oleh rawa menyebabkan Merauke mengalami kesulitan untuk menyediakan air bersih bagi penghuninya. Di beberapa tempat, air tidaklah sulit didapat, tapi ternyata tak layak untuk dikonsumsi karena airnya asin. Ini terjadi di daerah-daerah pinggiran pantai, seperti rumah teman saya. Di tempat-tempat yang bukan pinggiran pantai dan punya sumber air yang baik-pun, tak menjamin airnya layak untuk dikonsumsi, sehingga jasa penyediaan air minum galon-pun laris manis. Di musim hujan, para lelaki perkasa akan sejenak beristirahat karena para pelanggannya memilih untuk menampung air hujan yang tercurah dari langit dalam bak-bak penampungan sehingga mereka bisa berhemat.
Air memang sumber kehidupan. Di Merauke, saya baru menyadari arti penting air dan lebih menghargai jasa orang-orang perkasa yang telah berjalan ribuan kilometer untuk mensuplai air. Sungguh suatu profesi yang mulia dan tak akan pernah lekang oleh waktu, kecuali Indonesia sudah memiliki teknologi canggih untuk menyediakan air bersih dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakatnya.
Pemilu akhirnya datang lagi setelah 5 tahun berlalu sejak tahun 2004. Pemilu kali ini saya cukup bersemangat untuk berpartisipasi karena alasan-alasan eksternal, yaitu ini pemilu pertama saya di daerah Indonesia Timur jadi saya ingin ikut merasakan situasinya, dan kedua...saya ingin mencoba menggunakan kamera baru saya untuk memotret momen-momen khusus. Hehehehe...alasan yang aneh ya ? Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan siapa yang menang karena menurut saya, siapapun pemenangnya tidak terlalu signifikan merubah kehidupan saya.
Jam 10 saya datang ke kantor karena ada janji dengan teman-teman yang tergabung dalam 1 TPS untuk mencontreng bersama. Menurut informasi yang kami peroleh dari OB di kantor, kami terdaftar di TPS 21, yaitu TPS yang terletak di sasana tinju, belakang kantor. Kami-pun bergegas kesana karena menurut informasi, kami harus mendaftar dulu kemudian menunggu untuk dapat panggilan dan saat ini, situasinya sedang antri. Sampai disana, kami memang melihat ada banyak orang tengah antri dan kami sempat bingung tentang tata cara pendaftaran dan pemilihan karena tidak ada keterangan apapun yang ditempel di TPS. Akhirnya, kami iseng melihat DPT yang dipasang di pintu masuk dan...nama kami tidak ada. Weks! Takut bahwa kami kurang teliti melihat DPT karena nama tidak tersusun sesuai abjad, kami menelusuri lagi satu demi satu nama dari berlembar lembar DPT TPS 21 dan nama kami-pun tetap tak ada. Wah...bagaimana ini? Salah seorang petugas TPS menyarankan kami untuk melihat DPT di kantor kelurahan karena disana datanya lengkap. Hmm...untung saja kantor kelurahan letaknya dekat, jadi kami-pun rela menuju ke sana untuk menunaikan kewajiban sebagai warga negara yang baik.
Sesampainya di kantor kelurahan, kami tidak sendiri. Ada banyak orang yang sibuk mencari nama masing-masing di dalam DPT yang ditempel di papan pengumuman kantor kelurahan. Masih tidak percaya nama kami tidak ada di TPS 21, sekali lagi saya mencari nama kami dalam DPT TPS 21 dan daftar itu tetap sama, tidak ada yang berubah-nama kami tetap tidak ada. Fiuh! Akhirnya, saya melirik DPT di sebelah, yaitu di TPS 22. Lembar demi lembar saya susuri hingga ke halaman terakhir dan...nama saya tertera dengan indahnya di urutan 295. Duh senangnya... Saya bisa ikut pemilu di TPS 22! Yang saya heran, kami beralamat di satu rumah tapi berbeda TPS. OB dan istrinya terdaftar di TPS 21, sementara saya dan 4 teman yang lain terdaftar di TPS 22. Ada yang tahu bagaimana cara penyusunan DPT?
Dari kantor kelurahan, kami langsung meluncur ke TPS 22 yang berlokasi di kantor DISPENDA, Merauke, 300 m dari kantor. Sampai disana, TPS sepi, hanya ada para saksi saja. Saya kurang tahu pasti apakah kami yang datang terlambat atau TPS ini memang sepi peminat karena menurut kabar burung, Pemilu kali ini jumlah golput meningkat pesat. Kami langsung mendaftar di petugas pendaftaran dengan menunjukkan KTP masing-masing. Setelah itu, langsung menuju petugas yang memberikan kartu suara. Kami dapat 4 macam kertas suara, entah untuk apa saja, yang jelas warnanya kuning, merah, biru dan hijau. Kami dapat pesan sponsor dari petugas tersebut, "Nanti kalau kertas suaranya robek, kasih kembali ya!"
Setelah mendapat kertas suara, kami langsung menuju bilik pemungutan suara. Yang pertama saya buka ternyata kertas suara untuk perwakilan daerah dan saya bingung karena tidak mengenal sama sekali caleg-caleg yang wajahnya terpampang di kertas suara itu. Beberapa memang pernah saya lihat di poster-poster sepanjang jalan tapi saya tidak yakin dengan reputasinya, jadi saya melewatkan kertas suara perwakilan daerah tersebut dan berniat untuk golput. Kertas berikutnya yang saya buka adalah kertas suara yang memuat nama partai dan calegnya, tapi saya tidak memperhatikan untuk pemilihan mana. Karena saya hanya memilih partai, saya tidak begitu peduli pada caleg-calegnya. Selesai mencontreng, saya kesulitan untuk melipat kertas suaranya! Butuh waktu 1,5 menit untuk menemukan pola lipatan yang benar. Hehehe...lambat banget ya? Tapi, itu hanya berlaku untuk kertas suara pertama saja. Kertas suara kedua dan ketiga saya sudah paham pola lipatan dan letak partai pilihan saya, jadi tidak perlu membuka kertas suaranya lebar-lebar, jadi waktu yang dibutuhkan untuk mencontreng tidak lama. Tapi kerugiannya adalah saya jadi tidak tahu kalau ada cacat di kertas suara itu. Biarlah...! Setelah 3 kertas suara selesai, saya teringat pada iklan yang dibintangi Maudy Kusnaidi, yaitu "PILIH CALEG PEREMPUAN!". Akhirnya, saya buka kembali kertas suara untuk perwakilan daerah dan saya contreng caleg perempuan yang paling 'lokal'. Hehehe...kemakan iklan banget ya? Hidup Perempuan!
Contreng mencontreng-pun selesai, saya kemudian memasukkan semua kartu ke dalam kotaknya masing-masing. Dan, mencelupkan jari di tutup botol tinta pemilu sebagai tanda sudah menggunakan hak pilih. Lup...kelingking saya-pun jadi biru! Sayangnya, petugas di TPS 22 ini kurang sigap dalam menunaikan tugasnya. Saya hampir kelupaan mencelupkan jari, bahkan teman saya sudah pergi dari TPS, baru ingat belum mencelupkan jari dan tak satupun petugas TPS yang mengingatkan padahal botol tinta dijaga oleh petugas tersendiri. Hmm...semoga saja itu adalah kejadian yang tidak disengaja! Selesai memilih, kami-pun pulang ke rumah masing-masing. Hingga saat ini, saya tidak tahu siapa yang tampil jadi pemenang di TPS 22. Epen kah? :)
Hore...nama saya ada di dalam DPT!
Ternyata, saya masih tercatat sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dan saya bertekad tidak akan mensia-siakan kesempatan 5 tahun sekali ini dengan datang ke TPS 21 yang terletak di sasana tinju. Saya juga bertekad untuk mengabadikannya dalam foto-foto menggunakan kamera baru saya. Hidup Indonesia!
Tunggu laporan saya dari TPS 21!
Saya adalah seorang praktisi HRD dengan spesialisasi di rekrutmen dan training. Selama 1 tahun ini, saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di industri pengolahan kayu dan ditempatkan di Merauke, Papua. Jika anda mendengar kata Papua, apa yang terbayang di benak Anda ? Kalau saya, yang terbayang di benak saya saat pertama kali ditawari bekerja di Merauke adalah kondisi alam yang menantang dan SDM yang kualitasnya jauh tertinggal dari SDM yang ada di Jawa, dan...bayangan saya tepat sekali dengan kenyataan. Ada banyak kisah duka yang menguras emosi dan membuat saya berlinangan air mata, dan hanya sedikit saja kisah suka ketika menjalankan tugas di Tanah Papua tercinta ini. Tapi, saya percaya ini hanya terjadi di awal-awal saja karena proyek perusahaan saya yang masih embrio. Dan jika perusahaan ini terus berkembang dan eksis, saya yakin kisah suka akan lebih banyak menghiasi hari-hari saya dibanding kisah duka. Berhubung peristiwa yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang tidak bisa diulang dan pengalaman adalah guru yang paling baik di dunia, maka saya mencoba untuk menuliskan semua hal yang saya alami-baik suka maupun duka, di blog ini agar bisa menjadi bahan pembelajaran bagi saya di kemudian hari atau bagi siapapun yang membutuhkan.
Kisah pertama saya akan diawali dengan kisah duka. Tiba di Merauke, saya langsung dihadapkan pada job desc yang tidak jelas karena saya adalah satu-satunya HRD di masa itu. Alhasil, saya stress luar biasa di 3 bulan pertama karena saya harus mengerjakan hal-hal yang tidak ada dalam kamus pengalaman saya selama ini. Bahkan, pekerjaan yang biasa saya lakukan-pun tidaklah mudah untuk dilaksanakan karena berbagai kendala. Sebagai seorang rekruter tentu saja tugas utama saya adalah merekrut kandidat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta permintaan user. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengerjakan tugas itu adalah mempublikasikan lowongan kerja dan sourcing kandidat dari data yang ada. Langkah awal ini mudah untuk dilakukan meski menggunakan media konvensional, yaitu lewat RRI, dengan biaya Rp. 25.000/siaran. Animo masyarakat-pun cukup bagus, yang terbukti dari banyaknya lamaran yang masuk setelah pengumuman lowongan disiarkan.
Kendala mulai ada ketika langkah kedua rekrutmen dijalankan, yaitu pemanggilan kandidat dan dari sinilah kisah duka saya dimulai!
"Hmmm...kandidat ini sepertinya bisa untuk posisi itu. Panggil ah!" *ini pikiran saya ketika sedang sourcing lamaran*
"Tit..tut...tit...tut...tit...tut...tit...tut...tit...tut...tit...tut" *saya memencet nomer telpon yang tertera di surat lamaran dengan semangat 45*
"Maaf...nomer yang anda hubungi tidak aktif atau berada di luar jangkauan" *ini adalah jawaban yang saya terima dari seberang sana*
"Hmm...belum beruntung ni, orang. Coba yang lain ah!" *Saya belum menyerah ketika yang pertama gagal dihubungi*
"Tit..tut...tit...tut...tit...tut...tit...tut...tit...tut...tit...tut" *adegan pemencetan nomer telpon kandidat terulang
"Truuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuttttttttttttttttttt" *suara di seberang diganti dengan bunyi bising
Dan, adegan di atas terjadi berkali-kali hingga stok lamaran yang bisa dipertimbangkan telah habis di tangan saya. Damn! Apakah orang-orang ini semua HPnya dicuri atau habis masa aktifnya bersama-sama ? Saya-pun menggerutu sendiri! Inilah akibat dari murahnya kartu perdana...membuat konsumen gampang ganti nomer dan akhirnya menyusahkan rekruter seperti saya. Fenomena ini membuat saya tertarik untuk membuat penelitian dengan hipotesa "Semakin murah kartu perdana maka semakin sulit orang mendapatkan rejeki dari perusahaan" Fiuh!
Kendala lainnya adalah...banyak kandidat tidak punya nomer telepon. OMG! Serasa kembali ke tahun 80-an deh! Alhasil, saya terpaksa menggunakan pilihan terakhir, yaitu memakai jasa 'pak pos melayang di udara' alias radio, untuk memanggil kandidat-kandidat yang saya inginkan. Hasilnya...hanya 50% yang mendengar dan datang! Niat gak sih ?????!!!!!!!!@@@@########
Belajar dari pengalaman pertama yang buruk, saya akhirnya memasang berita tambahan setiap kali membuka pengumuman lowongan, yaitu mohon mencantumkan nomer telepon yang bisa dihubungi di surat lamaran! Hasilnya...yang mencantumkan nomer telepon prosentasenya meningkat! Tapi, tidak menjamin bisa dihubungi ketika waktu pemanggilan tiba karena...kartu perdana sangat murah dan sinyal jatuhnya tidak merata! Damn again!
-to be continued-
Foto mampu bercerita tentang banyak hal, apapun objeknya. Banyak orang yang gembira mengetahui dirinya diabadikan melalui foto, tapi ada pula yang sedih bahkan marah karena mereka sedang melakukan hal-hal yang melanggar norma masyarakat atau sedang dalam kondisi yang buruk ketika diabadikan melalui foto, seperti mbak sarah azhari.
Tapi foto bisa juga tidak jujur, apalagi di jaman teknologi canggih seperti sekarang ini. Foto-foto banyak direkayasa dengan berbagai macam program edit foto. Tapi, tenang...jika anda merasa ada kejanggalan ketika melihat sebuah foto, anda bisa menghubungi Roy Suryo, seorang pakar telematika. Dia bisa menganalisa foto Anda dan menentukan dengan mudah, apakah foto tersebut direkayasa atau sungguhan. Tapi, saya tidak akan membahas kehebatan mas Roy Suryo ini karena saya memang kurang tertarik dengan bahasan teknologi. Saya lebih tertarik pada latar belakang sebuah foto dibuat dan emosi yang terpapar pada wajah-wajah di dalam foto.
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman memamerkan sebuah foto di internet. Dalam foto tersebut, ia tampak bercengkrama dengan anak-anak di sebuah pedalaman Papua. Sebuah foto yang sangat menyentuh! Tapi, apakah benar apa yang terjadi sesungguhnya seindah yang terpapar di foto ? Tentu saja tidak ! Karena foto itu dibuat dengan sengaja alias membuat sebuah momen rekayasa sehingga tampak seolah-olah teman saya tersebut berinteraksi dengan penuh pengabdian. Dan, itu bukan saja dilakukan oleh seorang teman tapi beberapa teman. Mereka memanfaatkan momen-momen tertentu untuk berfoto dengan masyarakat yang 'unik' dan akhirnya dipamerkan di situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook atau Friendster untuk mengundang decak kagum dari kolega. Menurut saya, inilah yang namanya eksploitasi...memanfaatkan keberadaan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Semakin tampak primitif atau aneh, akan semakin menarik fotonya!
Jadi ... janganlah percaya pada sebuah foto begitu saja karena foto hanyalah suatu objek bisu yang tidak dapat berkata-kata apa yang terjadi senyatanya!
Hari ini ada artikel menarik di Kompas, yaitu tentang janji partai politik. Bukan...saya tak hendak mengkritisi partai itu, tapi saya tertawa getir karena mereka sangat mudah sekali melontarkan kata-kata indah penyejuk hati atau yang lebih dikenal dengan nama janji. Dan, itu bukan hanya dilakukan oleh mereka tapi juga oleh puluhan partai lain. Memang sih tak ada salahnya mengumbar janji manis, apalagi di masa-masa kampanye seperti sekarang karena inilah moment yang tepat untuk melancarkan jurus-jurus menarik hati masyarakat. Tapi...mbok kalau buat janji itu yang realistis! Jika kami menang, maka infrastruktur akan dibangun! Saya jadi bertanya-tanya...beranikah mereka mengucapkan janji manis yang sama di daerah Merauke ? Sanggupkah mereka untuk membangun infrastruktur di Merauke jika mereka menang dengan kondisi infrastruktur Merauke yang seperti sekarang ?
Saya kok sedikit pesimis bahwa mereka mampu melakukannya. Eits! Saya pesimis bukan tanpa dasar lho! Foto di atas adalah foto jalan menuju Jagebob, suatu distrik atau kecamatan di kabupaten Merauke. Jagebob sendiri sudah ada sejak pertengahan tahun 1980-an ketika program transmigrasi masih marak dan ini adalah jalan menuju kampung para transmigran. Coba Anda hitung sudah berapa kali pemilu sejak tahun 1980 ? Dan, siapakah yang keluar sebagai pemenang ? Berhasilkah mereka membangun infrastruktur di Merauke ????
Satu hal lagi yang membuat saya tertawa getir ketika membaca artikel di Kompas tadi :
" Jika ...... menang, perbaikan infrastruktur di Sulteng akan segera dilaksanakan "
Mengapa komitmen untuk membangun bangsa, harus menggunakan syarat ? Kesannya kok tidak ikhlas. Jika partai lain yang menang, apakah lantas mereka tidak mau ikut berpartisipasi membangun bangsa ? Sepertinya Anda semua sudah tahu jawabannya !
Tapi, kita tidak boleh patah arang hanya karena janji yang rasanya terlalu manis dan sekaligus kurang realistis. Bangsa ini maju bukan karena partai ini berhasil membuat itu atau partai itu sukses membangun ini. Bangsa ini maju karena kita-masyarakatnya!
Maukah Anda berpartisipasi membangun bangsa ini ?
Gambar mobil high land yang terjerembab ke dalam lumpur karena jalan yang rusak. Mobil ini sedang dalam perjalanan Merauke-Tanah Merah *foto diambil oleh Nurul-driver angkutan umum penumpang Merauke-Tanah Merah*
Semalam saya melihat film Jomblo, sebuah karya apik dari sutradara Hanung Bramantyo yang diangkat dari novel karya Adhitya Mulya. Film lama sih, tapi saya baru sempat melihatnya semalam dan saya merasa rugi baru melihatnya sekarang. Filmnya cukup unik dari segi sinematografi, but...saya tidak mau mengomentari dari sisi teknis perfilman karena saya bukan ahlinya. Saya tertarik pada jalan cerita filmnya karena menurut saya film ini sangatlah nyata dan menggambarkan romantika asmara di dunia kuliah.
Film Jomblo sendiri berkisah tentang kehidupan empat orang cowok yang bersahabat dekat dan kuliah di Teknik Sipil UNB. Dari judul filmnya bisa ditebak bahwa keempat cowok tersebut adalah jomblo'ers karena berbagai alasan. Doni (Christian Sugiono) adalah tipe cowok playboy yang tidak siap menjalin komitmen, Bimo (Dennis Adhiswara) adalah tipe cowok yang pantang menyerah untuk mendapatkan pacar meski terkendala masalah fisik alias kurang tampan dan norak, Olip (Rizky Hanggono) adalah tipe cowok yang tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya dan sangat terobsesi pada satu wanita, sedangkan Agus (Ringgo Agus Rahman) adalah tipe cowok yang sangat idealis dalam mencari pacar. Adegan-adegan awal berisi tentang pandangan-pandangan keempat cowok tersebut tentang kriteria cewek idaman dan terus bergulir ke cara-cara mendapatkan cewek idaman tersebut. Konflik atau klimaks film mulai terjadi ketika ada kisah perselingkuhan dan rebutan kekasih di antara sahabat.
Sebuah cerita yang biasa kan ? Tapi, saya yakin itulah kisah asmara sebagian besar mahasiswa di Indonesia, termasuk saya. Dulu, ketika masih muda *sekarang juga masih awet muda* dan masih seneng-senengnya tinggal di kampus, saya terlibat di sebuah organisasi pecinta alam, PALAPSI. PALAPSI bukan hanya menjadi ajang berkegiatan di alam bebas yang mengandung resiko tinggi, tapi juga menjadi ajang olah asmara dengan tingkat kerumitan tinggi. Persis seperti jalan cerita di film jomblo! Hal ini terjadi karena nyaris sebagian besar waktu dihabiskan bersama-sama dengan teman satu organisasi, sehingga memungkinkan orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman berkegiatan, termasuk hubungan asmara. Si A suka pada si B, tapi si B suka pada C. Si A disukai oleh D, E, dan F. F dikejar oleh G. E gagal dapat A, menggaet H, putus, jalan sama I. Complicated! Kami menyebut hubungan rumit ini dengan jaring laba-laba cinta. Bahkan, seorang teman sempat iseng menggambarkan hubungan yang complicated itu dalam sebuah peta hubungan yang memang jika dilihat dari bentuk fisiknya menyerupai jaring laba-laba.
Memang tak sedikit yang akhirnya berhasil melewati masa-masa kritis romantika asmara jaman kuliah dan berakhir happy ending dengan pernikahan, tapi banyak pula yang berujung tragis seperti Doni dan Olip karena berebut cinta yang sama sehingga merusak persahabatan. Saya sendiri juga terjebak dalam jaring laba-laba itu. Saya sempat menyukai kakak kelas saya, sebut saja namanya A. Eh...ternyata yang suka pada A ini bukan hanya saya seorang, tapi ada 6 cewek lain dan kami semua bersahabat. Gila kan ? Dan, gawatnya si A tak pernah menjatuhkan pilihan karena A adalah tipe Doni-takut menjalani komitmen! Ada lagi kisah yang lebih gila...seorang teman, sebut saja N, disukai oleh kakak kelas bernama T dan P. Awalnya N suka pada T dan merekapun berpacaran, tapi kemudian si P lebih menarik hati N sehingga N-pun memutuskan T dan berpacaran dengan P. Akibatnya hubungan T dan P yang awalnya bersahabat menjadi tegang. *maaf jika ceritanya kurang pas benar dengan kejadian sesungguhnya karena ini hanyalah pandangan dari pihak ketiga, bukan pelaku utama*
Sebuah kisah asmara yang rumit dan banyak menguras emosi serta air mata pada jamannya, tapi kini kisah-kisah itu telah menjadi bagian dari sejarah dan selalu mengundang senyum dan tawa jika dikenang kembali. Beberapa teman yang terlibat dalam jaring laba-laba kini telah bahagia dengan pasangan hidupnya masing-masing, dan beberapa yang lain masih terus berjuang mengubah status jomblo, termasuk saya. Hehehe...
Gambar diambil dari www.sinemart.com