Jumat, 03 Juni 2011

Jakarta-Jogjakarta-Denpasar

Pelajaran penting jika ingin melakukan perjalanan dengan biaya rendah
atau low cost adalah lakukan persiapan yang matang dan jangan percaya
pada satu sumber informasi.
Saya dan seorang teman kuliah merencanakan perjalanan ke Lombok dalam
waktu yang singkat. Kami tak bertemu muka untuk membahasnya dan hanya
menggunakan modal browsing internet untuk cari tahu tentang bagaimana
mencapai Lombok dengan murah dan apa saja yang akan kami lakukan di
sana. Karena kesibukan masing-masing, kami tak sempat eksplore dalam
tentang masing-masing info yang kami peroleh dan bodohnya, kami
mempercayai 1 sumber informasi yang setelah kami baca cermat, hanya
membuat rencana perjalanan tapi tidak ada laporan dia akhirnya
melakukan perjalanan tersebut. Sebuah kesalahan fatal!

H1 : Jakarta-Jogja, Jogja-Surabaya
Tanggal keberangkatan kami tentukan mendadak dan tanpa pertimbangan
yang matang, hanya berdasarkan pada long weekend. Itu artinya hanya
seminggu setelah punya ide ke Lombok bersama-sama. Saya yang berpikir
praktis, memilih menghampiri teman ke Jogja-sebuah pertimbangan
praktis yang dalam pelaksanaannya ternyata tidak praktis sama sekali
karena menghabiskan energi. Saya berangkat ke Jogja menggunakan kereta
Fajar Utama pada tanggal 1 Juni 2011 pagi dengan biaya Rp.120.000.
Tiba di Jogja sore hari, dan harus melanjutkan perjalanan ke Lombok
malam harinya. Saya tak sempat istirahat setelah perjalanan yang cukup
panjang. Harusnya kami bertemu di Surabaya saja...jalan tengah dan
dapat menghemat energi saya karena ternyata kami salah perkiraan. Bus
ke arah banyuwangi habis pk.20.00 dan kami baru tiba di terminal
Giwangan pk.22.00. Akhirnya kami harus ke Surabaya dahulu. Kami
memilih menggunakan bus patas dengan pertimbangan selisih biaya yang
tidak terlalu besar, yaitu 20 ribu saja. Kami menggunakan bus Eka
dengan biaya Rp.63.000 including meals. Not bad!

H2 : Surabaya-Denpasar, Denpasar-Mataram
Kesalahan kembali dilakukan pada saat pemilihan moda transportasi
menuju Bali. Alih-alih melanjutkan menggunakan bus dari terminal
bungurasih, kami memutuskan menggunakan kereta api seperti saran dari
sumber info yang kami dapatkan. Kami menggunakan kereta mutiara timur
dengan sedikit modifikasi dari sumber info. Jika sumber info hanya
sampai Banyuwangi, kami membeli tiket langsung Denpasar. Entah mana
yang lebih menguntungkan. Kami merogoh kocek Rp.150.000 untuk sampai
Terminal Ubung, Denpasar. Pemilihan ini membuat kami tak punya
guidance lagi, karena kami tidak dapat info tentang angkutan dari
Terminal Ubung ke Pelabuhan Padang Bai. Saya hanya mengandalkan logika
bahwa terminal Ubung adalah terminal antar kota, jadi mestinya ada
angkutan untuk kemana saja. Satu hal juga yang kami lupakan dalam
menyusun skenario perjalanan adalah we are girls dan ternyata kami
memiliki rasa keder ketika di tengah perjalanan, yang tampak hanya
laki-laki dan laki-laki. Kereta terlambat tiba di banyuwangi, otomatis
juga terlambat menuju denpasar. Sampai di Denpasar sudah larut malam,
sekitar pk.23.00. Terminal sudah sepi, kami kehabisan pilihan. Mungkin
belum kehabisan, tapi saya pribadi malas ambil resiko karena sudah
kelelahan. Kondektur bus PJKA menunjukkan pada kami bus eksekutif
tujuan Mataram. Tanpa pikir panjang dan tak bertanya, kami langsung
mengiyakan. Bisa ditebak jalan akhirnya...kami harus mengeluarkan uang
ekstra untuk sampai Mataram. Kegamangan karena dikelilingi calo, minim
informasi, tak ada keberanian untuk ambil resiko merupakan kombinasi
yang komplit dan kami harus membayarnya dengan harga Rp.160.000 untuk
perjalanan Denpasar-Mataram. Fiuh...total general kalau kami hitung,
perjalanan Jogja-Mataram habis biaya Rp.380.000-lebih mahal daripada
menggunakan bus Safari Dharma Raya yang tarifnya Rp.350.000 untuk
sampai Mataram dari Jogja. Huaaaaa...! Maunya dapat murah malahan
dapat mahal dan rugi waktu. Snif...snif... O ya, bus eksekutif yang
kami tumpangi, ternyata hobi ngetem...Janji jalan j00.00 WITA,
ternyata baru jalan menjelang pk.01.00 dan satu lagi yang buat kami
tercengang...ternyata pelabuhan Padang Bai itu dekat dengan terminal
Ubung, cuma 1/2 jam perjalanan. Hiks! Sampai di Padang Bai, bus itu
lagi-lagi parkir sampai jam 4 subuh dengan alasan yang saya kurang
tahu...Alhasil pk.07.00 WITA, kami masih terkatung-katung di tengah
lautan...

-to be continued-

--
Sent from my mobile device

Rabu, 01 Juni 2011

Last Day

Selasa, 31 Mei 2011, adalah hari terakhir perjuangan saya berkarya di
PT.M****Papua. Ada rasa kehilangan yang sangat ketika hari itu
akhirnya tiba. 3 tahun perjalanan saya akhirnya harus berakhir pada
sebuah hari yang gelap-diguyur hujan lebat. Saya masih ingat pertama
kali dulu saya bergabung dengan perusahaan itu. Ada semangat menggebu,
ada kebanggaan merasuk dalam diri saya. Cita-cita saya dari kecil
untuk bekerja di Papua terwujud, bahkan akhirnya di tempatkan di ujung
timur Indonesia-tak semua orang seberuntung saya:p Saya yang masih
hijau dalam dunia HRD nekat terjun ke kawah candradimuka di Merauke.
Berbekal pengetahuan seadanya, saya menjadi tim HRD yang pertama
tinggal di sana. Saya jatuh bangun ketika bekerja di sana.
Berkali-kali saya demotivasi, apalagi ketika cash flow perusahaan
sedang seret, tapi akhirnya berhasil bangkit dan berlari ketika saya
melihat dan merasakan bahwa kesempatan untuk membangun perusahaan
besar di tengah keterbatasan di tanah Papua ternyata sangat menantang
adrenalin saya. Yes...I love challenge!

Sejak awal berdirinya hingga akhirnya saya memutuskan untuk keluar,
saya telah kehilangan banyak teman-teman hebat yang berguguran.
Kehilangan yang sangat terasa adalah kehilangan manager saya, entah
kenapa sejak saat itu saya merasa kehilangan arah. Honestly, saya
sangat cocok dengannya dan ternyata akhirnya saya bermasalah dengan
penggantinya-tak cocok dengan gaya kepemimpinannya. Politik kantor
jua-lah yang akhirnya menghempaskan motivasi saya ke titik nadir.
Diperparah oleh kondisi cash flow yang tak menunjukkan titik terang,
gugatan masyarakat terhadap tanah yang tak kunjung mencapai titik
temu, dan keputusan-keputusan managemen yang tak menunjukkan sense of
crisiss. Selain itu, saya sendiri juga membutuhkan stimulasi lebih
untuk menjadi profesional di bidang HRD. 3 tahun di Papua, saya
kehilangan akses informasi dan itu juga berarti kehilangan ilmu
pengetahuan. Feels stupid if compare it with others! Saya berada di
zona nyaman yang membuat saya terkadang tampil arogan dan over
confidence. Tak ada yang menghentikan saya, tak ada yang mengontrol
saya...! Saya merasa keadaan itu lama-lama akan berpengaruh terhadap
kepribadian saya. Maka demi untuk kesehatan mental dan kemajuan ilmu
saya, saya akhirnya memilih keluar.

Tak ada air mata...hanya suara tertahan karena rasa haru harus
berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga. Kelak ketika
perusahaan itu benar-benar sukses, saya-pun telah turut menancapkan
jejak langkah saya di dalamnya. That's enough! Selamat tinggal
Merauke...! Terima kasih telah memberikanku banyak pelajaran dalam
hidup, terima kasih telah memberiku keluarga baru...!

Tulisan ini dipersembahkan untuk tim HRD yang hebat dan tim pioneer!
Love u,guys!

--
Sent from my mobile device