Selasa, 09 November 2010

Sebentuk Cinta dari Merapi

Gunung Merapi akhirnya meletus juga, memuntahkan sebagian isi perutnya ke muka bumi pada tanggal 4 dan 5 November 2010 yang lalu. Sebuah peristiwa yang meluluh lantakkan hati banyak orang karena letusannya membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal, harta benda dan bahkan nyawanya. Mbah Marijan, sang tokoh fenomenal penjaga Merapi-pun ikut menjadi korbannya-konon beliau meninggal dalam posisi sembahyang bersujud...sebuah posisi yang mulia ketika maut datang menjemput. Semoga semua amal ibadahnya diterima oleh Tuhan...Selamat Jalan, Mbah !


Bercerita tentang Gunung Merapi dan kehidupan di sekitarnya memang tak akan pernah ada habisnya. Bagi saya, Gunung Merapi tak lagi sekedar gunung tapi sebuah oase untuk menimba kebijaksanaan hidup. Keramahan dan ketulusan penduduk di lereng gunung Merapi selalu membekas dalam benak saya setiap kali saya menjejakkan kaki di sana, entah di belahan Jogja maupun Boyolali *saya belum pernah mengunjungi Merapi dari Klaten
Tahun 2003, setelah kembali dari lokasi KKN di Wonogiri, saya harus menyusul tim litbang Palapsi di daerah Selo, Boyolali yang sedang melakukan kegiatan pengabdian masyarakat disana. Sebelumnya di tahun 2001, saya yang seperti dituntun oleh alam semesta, menunjuk daerah Selo sebagai daerah untuk melakukan pengabdian masyarakat sebagai salah satu syarat pendidikan lanjutan di Palapsi. Saya memilihnya secara acak, tanpa didasari oleh studi pendahuluan yang mendalam. Sebuah keputusan yang tak pernah saya sesali. Penerimaan penduduk Selo terhadap kami yang notabene adalah sekelompok mahasiswa urakan dan hanya mengejar kesenangan sendiri sungguh di luar dugaan. Pak Carik Selo yang rumahnya kami jadikan base camp tak berkeberatan rumahnya menjadi hiruk pikuk karena kedatangan saya dan rombongan yang berjumlah 10 orang dan tinggal disana selama 3 hari. Anak-anaknya bahkan lengket dengan kami dalam jangka waktu yang singkat. Sajian makanan khas desa Selo-pun tak henti-hentinya diberikan kepada kami. Sungguh sebuah kebaikan yang tulus kepada kami yang bahkan tak tahu harus memberikan apa sebagai imbalan kebaikan hati mereka. Sepanjang jalan ketika kami berkegiatan, penduduk menyapa kami dengan keramahan yang luar biasa, bahkan beberapa muda-mudi desa-pun akhirnya menjadi teman bermain kami. *Thanks to Nungki yang memiliki kemampuan building rapport luar biasa dengan masyarakat


Kembali ke tahun 2003. Desa Selo kembali menjadi tujuan latihan mengembangkan skill mengabdi pada masyarakat oleh tim Litbang tahun itu. Saya tidak ingat pasti apa tujuan akhir dari kegiatan tersebut, tapi yang jelas salah satu aktivitasnya adalah mengajar di sekolah desa. Kepolosan anak-anak desa Selo membuat kami tak percaya bahwa kami masih ada di belahan bumi Indonesia, bahkan di Jawa. Berbeda sekali kondisinya dengan kami yang dapat mengenyam pendidikan dengan fasilitas lengkap padahal jaraknya tak sampai ribuan kilometer dari tempat tinggal kami dan relatif mudah dijangkau. Yang tertangkap mata saat itu adalah baju seragam dengan emblem bermacam-macam sekolah. Rupanya mereka tak mampu membeli baju seragam sehingga baju yang mereka pakai adalah baju bekas dari sumbangan sekolah-sekolah lain. Meskipun begitu...semangat mereka untuk sekolah luar biasa. Jam 7 kurang, mereka sudah berada di sekolah padahal guru yang mengajar sering kali datang terlambat karena rumahnya jauh di kota. Satu kebiasaan mereka yang membuat saya merasa geli dan lucu adalah mereka berebutan mencium tangan kami dari dahi ke pipi kiri dan kanan dan terakhir ke mulut. Hal itu tak cukup dilakukan sekali, kadang-kadang sampai tiga kali dalam satu kesempatan dan satu anak bisa melakukannya lagi selang beberapa waktu kemudian. Ketika saya tanya...bukannya tadi sudah cium tangan ya? Mereka hanya tersenyum simpul malu-malu. 


Meski semua serba terbatas-duduk berhimpitan di bangku sekolah karena ruang kelas yang tak memadai- namun tampak bahwa mereka adalah murid yang pandai. Semua soal yang kami berikan, dapat mereka selesaikan dengan tingkat kesalahan yang sewajarnya. Dan mereka sangat antusias sekali belajar-sebuah pemandangan yang mengharukan dan menampar wajah kami. Fasilitas sekolah yang lengkap  membuai kami  sehingga sering kali malas untuk belajar dan malah asyik bermain. Suatu ironi jika dibandingkan dengan anak-anak di desa Selo. Mereka sangat tertarik pada pelajaran bahasa Inggris dan juga Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Senang rasanya dapat membantu mereka belajar meski hanya beberapa hari saja. Suatu hari, kami belajar tentang pembagian zona waktu di Indonesia. Saya melontarkan pertanyaan...Jika di Jambi jam 8, maka di Boyolali jam berapa ? Dan, mereka dengan kompak menjawab jam 9. Nah lho? Pertanyaan saya kemudian adalah...Tahu tidak dimana boyolali itu ? Dan tebak...semuanya menggelengkan kepala. Eng i eng...mereka tak tahu bahwa tempat mereka hidup saat ini masuk dalam sebuah wilayah yang bernama Boyolali! Mungkin mereka bukannya tidak tahu, tapi mereka mendadak lupa karena merasa takut dengan ibu gurunya yang cantik tapi galak. Hehehe...


Hari terakhir mengajar adalah hari yang tak akan pernah kami lupakan. Sepanjang pagi, murid-murid bertindak misterius. Mereka sengaja tak ingin mendekati kami dan sembunyi-sembunyi curi-curi pandang malu-malu. Rupanya mereka menyembunyikan sesuatu yang akan membuat kami meneteskan air mata haru setibanya di Jogja. Semua murid membuat surat perpisahan untuk kami dan kami dilarang membukanya sampai nanti ketika tiba di Jogja. Ada yang menangis, ada yang tertawa senang dan ada yang memuja kami ketika saat perpisahan tiba. Yang mengagetkan nama saya dan beberapa teman ditorehkan di jalan...Sungguh mengharukan dan cara yang indah mengekspresikan rasa syukur dan senang atas kehadiran kami. 


Tiga jam perjalanan kembali ke Jogja cukup melelahkan, namun kami memiliki semangat baru karena teman-teman kecil kami di SD menularkan semangat dan gairah hidup yang luar biasa. Sesampainya di kampus, kami buka lembar demi lembar surat yang ditujukan untuk kami. Kami tercengang bukan main ketika membuka surat-surat itu. Ada yang berterima kasih, ada yang memuji kami karena cantik, ada yang menyatakan cinta dan ada yang mengkritik. Sebuah luapan perasaan yang tak kami duga akan diungkapkan oleh anak-anak SD. Di surat-surat itu, ada juga kami temukan lembaran uang seribuan cukup banyak. Kami tak tahu apa maksud mereka memberi uang pada kami...apakah sebagai rasa ungkapan terima kasih atau sebagai ungkapan keprihatinan karena kami tak pernah 'jajan' selama berada di sekolah dan hanya bisa memandang murid-murid SD itu membeli berbagai macam penganan dengan air liur menetes. Di tengah kekurangan mereka, mereka masih dapat memberikan jatah uang jajan mereka kepada kami yang notabene lebih berkecukupan daripada mereka. Sungguh sebuah misteri sampai dengan saat ini. Selain uang, ada juga yang memberikan buku tulis kepada kami. Kami tahu betapa bermaknanya buku tulis itu bagi mereka karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, sering kali mereka terpaksa menggunakan lagi buku yang sudah dipakai untuk kelas berikutnya. Cukup dengan menghapus tulisan pensil dari kelas sebelumnya...foila...buku dapat digunakan lagi ketika naik kelas. Dan mereka memberikan benda berharganya untuk kami yang sudah jarang menggunakan buku tulis untuk belajar. Sungguh sebuah tindakan yang tak dapat kami mengerti namun membuat kami sekali lagi tertampar. Di tengah kekurangan, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk tamu yang hanya singgah beberapa hari saja. Apakah kita bisa melakukan hal itu pada orang lain, pada orang asing yang sama sekali tak kita kenal ? O ya...salah seorang teman wanita malah mendapatkan hadiah mangkuk cantik! Saya tak bisa berpikir lagi tentang alasan di balik pemberian mangkuk itu...tak terjangkau oleh akal sehat saya. 


Ketulusan, keramahan, kebaikan, kedermawanan, dan hidup yang bersahaja adalah pelajaran hidup yang sangat berharga yang saya temui di lereng gunung Merapi. Ada sebuah cinta yang tulus dari masyarakat di lereng Merapi untuk kami...cinta yang akan kami kenang setiap kali melihat gunung Merapi. Semoga cinta itu tak pudar karena letusan Merapi.


*Thanks to pak carik sekeluarga yang bersedia menampung kami, dan pada Sukini-pemudi desa Selo yang tak pernah melupakan kami dan sambutannya yang hangat setiap kali kami datang. Terima kasih Merapi...atas cintamu yang tulus kepada kami...*