Senin, 23 Mei 2011

Next destination : Lombok

Setelah berkunjung ke Flores beberapa waktu yang lalu untuk mewujudkan
mimpi, maka mimpi saya selanjutnya adalah LOMBOK. Mengapa Lombok?
Alasannya sederhana dan mungkin sedikit tidak masuk akal, yaitu saya
baru saja menonton film Eat, Pray and Love yang dibintangi oleh Julia
Robert. Lalu apa hubungannya? Di film itu, ada adegan dimana
Liss-tokoh yang diperankan dengan apik oleh Julia-membaca sebuah buku
tour guide yang berjudul 'BALI dan Lombok'. Begitu melihat adegan
tersebut, tiba-tiba terbersit keinginan untuk menjelajah Lombok yang
di buku tersebut cuma ditulis dengan huruf kecil dan font yang lebih
kecil daripada Bali seolah-olah Lombok itu hanya bonus perjalanan.
Bali adalah daerah tujuan wisata yang umum dan mudah dijangkau oleh
siapapun, tapi Lombok? Tak banyak wisatawan yang datang kesana
meskipun jaraknya hanya sepelemparan batu dari Bali *membandingkan
jumlah wisatawan yang datang ke Bali dan Lombok*
Mumpung saya punya sedikit waktu luang akibat dampak dari resign dan
menunggu mendapatkan pekerjaan baru mengapa saya tak melakukan sebuah
petualangan baru? Ada sedikit uang dan ada seorang teman kuliah yang
tertarik bergabung maka jadilah sebuah rencana perjalanan ke Lombok.
Mengapa saya berani melakukannya di saat kondisi saya yang tidak
menguntungkan? Jawabannya adalah karena saya butuh sebuah pelampiasan
untuk meredakan semua ketegangan dalam diri (katarsis) dan saya butuh
sebuah pencapaian untuk mengangkat mental saya kembali menjadi
'individu' seperti dulu atau bahkan lebih baik lagi. Perjalanan-pun
dirancang berbudget minim karena keterbatasan dana dan juga ingin
merasakan semangat petualangan seperti jaman kuliah dulu. Merasakan
romansa perjalanan petualangan membangkitkan gairah dalam diri saya
seperti dulu ketika masih remaja.
Jika tak ada aral melintang, maka perjalanan ke Lombok akan kami
lakukan pada awal bulan Juni...Tunggu kami, Lombok..... untuk
menjelajahi indahnya lekuk tubuhmu...!
--
Sent from my mobile device

Minggu, 22 Mei 2011

Titik Nol

Titik Nol...
Bukan...saya tak hendak bercerita tentang kisah Agustinus Wibowo yang
berjudul sama dan dimuat di Kompas beberapa tahun yang lalu. Saya
ingin bercerita tentang Titik Nol saya sendiri. Apa arti bilangan nol
buat saya? Nol adalah kosong, nol adalah sebuah kehampaan atau
ketiadaan dan nol adalah sebuah lingkaran tak terputus yang kadang
kecil bentuknya, namun kadang besar juga. Nol itulah kondisi saya
sekarang. Meskipun banyak orang tak percaya bahwa saya mengalaminya,
namun inilah fakta yang terjadi dan saya mengalaminya karena sebagian
besar adalah akibat dari kebodohan hakiki yang saya miliki.
Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan di masa lalu menghempaskan saya
dari angka puncak menuju angka terendah,yaitu 0 (nol).
Saya memutuskan keluar dari pekerjaan saya yang sedang di puncak
karier. Apa salahnya dengan itu? Tak ada yang salah jika saya
mendapatkan yang lebih baik dari pekerjaan sekarang. Tapi
kenyataannya, saya keluar dari pekerjaan saya saat ini dan belum
mendapatkan pekerjaan baru. Saya mengambil resiko besar di tengah
beberapa kondisi yang kurang menguntungkan buat saya. Mengakhiri
pekerjaan yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan saya, yang
merupakan kebanggaan saya selama kurun waktu 3 tahun, dan menjadi
tanda eksistensi saya setelah saya melepas status pelajar. Bukan hal
yang mudah untuk saya hadapi karena saya terbiasa memiliki sesuatu
yang pasti dalam hidup saya. Saya terbiasa hidup dalam sebuah
keteraturan, biasa mengontrol segala sesuatu dan sekarang, saya tak
punya apa-apa. Seperti kembali ke titik nol ketika lulus dari
kuliah-berburu pekerjaan, survival dengan bekal seadanya karena tak
lagi bisa bergantung pada orang tua. Sebuah kondisi yang tak
mengenakkan...
Dan, kondisi ini ditambah lagi dengan bekal finansial yang tidak
mencukupi bahkan minus karena sebuah peristiwa yang tak mengenakkan di
akhir tahun berhasil menguras uang tabungan saya. Lengkaplah sudah
titik nol saya!
Apa yang sudah saya lakukan mengatasi hal ini? Nyaris tak ada! Saya
bahkan seperti terseret ke dalam arus putaran episode 'mengasihani
diri sendiri'. Saya berkutat dengan kegalauan perasaan-perasaan yang
saya rasakan semenjak kehidupan saya merosot. Perasaan malu, rendah
diri, tak berdaya, gengsi, kuatir menjadi satu dan saya bingung
bagaimana menghadapinya. Saya hanya takut saya melakukan hal yang
bodoh selama masa titik nol ini. Tapi untunglah, saya masih diberikan
akal sehat dan lingkungan pergaulan yang positif sehingga titik nol
perlahan bertumbuh dan berkembang meninggalkan titik statisnya. Memang
terkadang saya merasa frustasi dan kembali ke titik statis, namun
setiap kali saya jatuh, Tuhan selalu mengirimkan malaikat-malaikat tak
bersayapnya berupa teman yang mengingatkan saya untuk terus berjuang
dan yang terpenting membangkitkan rasa percaya diri saya bahwa saya
memang special!
Sebuah coretan untuk meredakan kecemasan, membuat saya untuk tetap
berpikiran 'waras' dan kelak sebagai pengingat jika saya sudah kembali
di titik teratas...
--
Sent from my mobile device

Jumat, 20 Mei 2011

Rajin Nge-blog

Rasanya produktivitas blog saya dari tahun ke tahun semakin menurun. Ada saja seribu alasan yang saya buat sebagai bentuk permakluman bahwa blog saya kurang update, mulai dari tidak ada waktu sampai terbatasnya sarana dan prasarana untuk nge-blog. Namun muara dari semua alasan itu sebenarnya adalah niat! Niat saya untuk menulis kurang kuat sehingga apapun alasan yang saya buat pasti akan terasa masuk akal.

Sekarang, saya berniat untuk menghilangkan seluruh hambatan untuk menulis dan update blog. Salah satu cara yang akan saya lakukan adalah berusaha untuk tetap dapat update blog meskipun menggunakan sarana yang minim. Voila! Akhirnya, saya menemukan cara posting yang mudah yang bisa dilakukan dimana saja asalkan saya membawa ponsel pintar saya, si Blackberry karena cara yang saya gunakan adalah mengirim posting blog melalui email. Dan karena Blackberry, saya bisa akses email saya dimanapun dan kapanpun. Ini adalah tulisan pertama saya menggunakan fasilitas tersebut. Jika tulisan ini berhasil Anda baca, berarti saya telah berhasil. Namun jika saya tidak berhasil, maka Anda-pun tidak akan pernah tahu saya telah membuat tulisan ini:p

Senin, 16 Mei 2011

Flores...family and love - bagian 2!

Seperti halnya daerah Indonesia Timur yang lain, ikatan kekerabatan di Flores juga sangat erat. Kakak adik tinggal berdekatan meskipun sudah memiliki keluarga masing-masing. Keluarga pasangan saya juga begitu. Orang tua pasangan saya sudah menyiapkan 3 rumah untuk nantinya diberikan kepada masing-masing anaknya yang kesemuanya berada dalam 1 kompleks. Jadi bisa dibayangkan bagaimana ramainya jika nanti kami semua tinggal disitu. Nenek dari mama tinggal tak jauh juga dari rumah orang tua pasangan saya dan usianya-pun sudah sangat lanjut, yaitu 97 tahun. Hebatnya, beliau masih tegap berdiri dan sanggup ke kebun untuk bercocok tanam...! Di Flores, sebutan Nenek berlaku pada laki-laki dan perempuan, tak seperti di Jawa dimana Nenek selalu merujuk pada perempuan. *dan ini baru saya ketahui setelah 3 hari berada di Flores-bodoh!* Sebutan untuk laki-laki adalah Nenek Ama dan sebutan untuk perempuan adalah Nenek Ina.

Disana, saya merasakan suasana kekeluargaan yang hangat dan erat sekali. Saya tak tahu persis apakah ini berlaku pada keluarga Flores yang lain atau memang kebetulan suasana kekeluargaan yang hangat itu hanya dimiliki oleh keluarga pasangan saya. Kata Om yang merasuki kakak perempuan (baca tulisan bagian 1), "Orang Maumere itu makannya banyak, omongnya juga banyak". Maksudnya adalah orang Maumere suka makan dan suka mengobrol . Dan kata-kata Om itu memang ada benarnya. Saya yang tak terbiasa makan pagi dipaksa untuk makan 6 kali sehari dengan porsi yang lumayan besar dan tetap saja buat mereka, saya itu ukurannya kurang makan. Hehehe...porsi makan saya sama dengan porsi makan keponakan pasangan saya yang usianya 6 tahun. Acara makan adalah acara yang penuh kehangatan karena makan sering dilakukan bersama-sama dan lauk seadanya-pun terasa nikmat di lidah ketika seluruh anggota keluarga berkumpul, duduk bersama untuk menikmati hidangan. Menu favorit keluarga adalah ikan bakar dan hore...saya berhasil membersihkan ikan dan membuat bumbu ikan bakar di bawah bimbingan pasangan saya. Pernah suatu hari, kami makan ikan jam 12 malam karena tak sabar menikmati ikan yang dibawa oleh kakak ipar pasangan saya dari tempatnya bertugas dan memang tak sia-sia membakar ikan tengah malam karena hasilnya memang luar biasa enak. Di sana, nasi 1 rice cooker ukuran sedang habis untuk 1 kali makan, sedangkan di rumah saya, 1 rice cooker ukuran sedang untuk makan seharian dan kadang esok paginya masih ada sisa. Tapi ternyata makan ikan bakar lebih nikmat dengan pisang yang digoreng tanpa tepung atau dibakar. Sayang, sambal disana terasa asin di lidah saya. Dapur juga rasanya tak pernah istirahat untuk terus men-supply kebutuhan makan dan berkumpul seluruh anggota keluarga.
Selesai makan, keluarga biasanya berkumpul untuk bercerita dan mengobrol. Event inilah yang disebut Om sebagai 'banyak omong'. Semua cerita mengalir tak henti-henti, dari obrolan tentang masa lalu, masa sekarang,  masa depan hingga obrolan omong kosong dan mereka betah berjam-jam untuk melakukan hal itu serta melakukannya dengan suara yang lantang. Stamina mereka memang hebat. Tak perlu jamuan makan mewah untuk menyatukan keluarga dalam sebuah kehangatan. Saya belajar bahwa cara memasak yang natural dan sederhana ternyata mampu membawa suasana kehangatan dalam keluarga karena semuanya dilakukan dengan semangat melayani seluruh keluarga dan gotong royong. 

Di keluarga bapa pasangan saya ada seorang tante yang tak menikah, begitu pula di keluarga mama. Menurut pasangan saya, ini adalah sebuah tradisi bahwa salah satu anak perempuan tidak boleh menikah agar tinggal di rumah orang tuanya dan merawat orang tuanya dalam usia senja hingga meninggal. Sebuah bentuk pengabdian yang hanya dapat dipahami dalam sebuah sistem kekeluargaan yang erat. Entah apa kata LSM pemberdayaan perempuan atau HAM tentang hal ini. Saya rasa mereka tak bisa mengatakan pengabdian tersebut sebagai sebuah bentuk pemaksaan kehendak atau pemasungan hak perempuan karena saya yakin semuanya melakukan hal itu dengan semangat kasih dan pelayanan terhadap keluarga. Namun rasanya hal itu sekarang sulit dilakukan seiring dengan jumlah anak yang semakin sedikit.

Dari keluarga pasangan saya *tak berani membuat generalisasi keluarga Flores pada umumnya-butuh riset lebih dalam*, saya belajar tentang arti sebuah cinta, pelayanan dan pengabdian.


- to be continued to part 3...

Flores...the dream come true! - bagian 1

Setelah bermimpi sekian lama tentang tanah Flores, akhirnya saya berhasil mewujudkan mimpi saya. Tanggal 19-28 April lalu saya berkesempatan pergi ke Flores meski tak mengeksplore keseluruhan pulau Flores yang membentang cukup luas, tapi hanya di daerah Maumere saja. Namun perjalanan itu adalah perjalanan yang tak akan pernah saya lupakan karena saya tak sekedar travelling kesana, tapi juga punya agenda lain, yaitu mengunjungi calon keluarga baru saya. Hehehehe...yup...saya dapat jackpot karena tak hanya berhasil berkunjung ke Flores, tapi juga mendapatkan pasangan hidup dari Flores. Jadi, perjalanan kemarin tak menitikberatkan pada eksplore keindahan alam Flores, melainkan fokus pada memahami budaya yang kelak akan menjadi budaya saya juga jika menikah dengan pasangan saya. 


Berangkat ke Flores menggunakan maskapai Batavia Air dengan rute Jakarta-Kupang dan Kupang-Maumere dengan harga tiket Rp. 1.400.000. Tak ada yang istimewa dengan penerbangannya, kecuali harus bangun pagi-pagi sekali dan berangkat dari rumah pk. 03.00 karena penerbangan dijadwalkan pk. 06.00. Fiuh! Saya berangkat dengan pasangan dan 2 saudara perempuannya. Barang bawaan saya hanya 1 tas, begitu juga dengan pasangan saya. Tapi, barang bawaan saudara perempuan pasangan saya luar biasa banyak hingga over baggage padahal sudah menggunakan jatah bagasi milik saya dan pasangan. Hal yang jamak terjadi untuk penerbangan ke Indonesia Timur karena banyak oleh-oleh untuk kerabat dan membawa barang-barang yang hanya dapat dijumpai di daerah Indonesia Barat. Jakarta-Kupang ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih 2,5 jam dan lancar. Namun tidak demikian dengan rute Kupang-Maumere. Meskipun jarak tempuhnya hanya 30 menit, namun penerbangan singkat itu membuat jantung berdegup kencang dan tak henti-hentinya memanjatkan doa mohon keselamatan karena sepanjang perjalanan, pesawat berguncang-guncang yang disebabkan oleh awan mendung tebal. Bahkan seorang penumpang ada yang sampai menangis karena ketakutan dan pramugari membatalkan pembagian snack karena kondisi tidak memungkinkan. *sementara saya...berpegangan erat pada tangan pasangan saya yang 'berpura-pura' tenang. wkwkwkwk*


Jam 14.00, kami tiba di Maumere. Udara panas langsung menyambut kami begitu menginjakkan kaki di bandara Frans Seda meskipun hujan baru saja berhenti. Menurut saya, bandara Frans Seda cukup luas dan bersih untuk ukuran bandara kabupaten, jika dibandingkan dengan bandara-bandara kabupaten lain, seperti Manokwari dan Biak. Kami dijemput oleh kakak perempuan pasangan lengkap dengan mujair-mujairnya *kami menyebut keponakan pasangan yang masih kecil-kecil dan ramainya minta ampun dengan mujair* Tujuan pertama adalah mengantarkan saudara sepupu pasangan yang tadi satu pesawat dengan kami ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, sambutan keluarga benar-benar di luar perkiraan saya. Ramah, ramai dan hangat seperti saya ini sudah lama dikenal oleh mereka. Yang buat saya terheran-heran adalah tak ada satupun yang bersuara pelan disana, semuanya memiliki suara keras...hehehehe...kalau di rumah saya, ada yang bersuara sekeras itu, pasti sudah dimarahi oleh ibu saya karena dianggap membentak. Telinga saya-pun harus terbiasa dengan suara-suara 8 oktaf itu:p 


Selesai mengantar saudara sepupu pasangan, kami pergi bakar lilin ke makam nenek dari pihak bapa. *bakar lilin=ziarah kubur* Alih-alih bunga tabur seperti lazimnya di Jawa, kami menggunakan lilin yang ditaruh di sekeliling makam atau di kepala nisan. Saya sempat shock ketika mengetahui tradisi di sana tentang makam, yaitu keluarga dimakamkan di halaman rumah. Jadi hampir setiap halaman rumah, pasti ada makam leluhur tapi tentu saja itu jika rumahnya di kampung. Bahkan menurut pasangan saya, ada yang menaruh makam anaknya di kamar tidur untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap sang anak. Takut? Pasti! Tapi itu hanya awal-awal saja karena lama-lama makam jadi pemandangan biasa dan mereka mendekorasi makam sedemikian rupa sehingga kesan angker-pun nyaris tidak ada. Aaarrrghhh...tapi saya tak berani membayangkan jika makam itu masih baru, pasti saya tidak akan berani tidur sendirian. Untungnya besok kalau saya harus kembali kesana, saya tak perlu lagi tidur sendirian:p


Bicara tentang leluhur, keterikatan orang Flores terhadap leluhur sangatlah kuat. Buktinya adalah makam leluhur yang terletak di halaman rumah. Kecintaan terhadap keluarga, penghormatan terhadap leluhur adalah hal yang mutlak disana. Malam pertama saya di rumah pasangan, saya dibuat ketakutan setengah mati karena tiba-tiba kakak perempuan yang tadi menjemput kami di bandara kerasukan arwah paman/om yang telah beberapa tahun berselang meninggal dunia. Seumur hidup saya, baru kali ini saya melihat orang kesurupan dengan cara yang seperti dialami oleh kakak perempuan. Dulu waktu kuliah, ada seorang adik kelas yang kesurupan dan sangat menakutkan karena dia disusupi oleh arwah jahat penunggu gedung kampus. Itu adalah pengalaman pertama saya bersentuhan dengan dunia lain. Dan kemarin di Flores, saya mengalami hal yang benar-benar di luar jangkauan akal sehat saya namun benar-benar terjadi. Semasa hidupnya, om memang terkenal sangat sayang pada kakak perempuan itu sehingga itu pula sebabnya om memilih raga kakak perempuan sebagai media untuk berkomunikasi dengan orang-orang terkasih yang ditinggalkannya. Jauh dari kesan menakutkan, om sangat ramah ketika 'kembali' ke tengah-tengah keluarga. Ia memberikan wejangan, nasehat, mengenang masa lalu, bahkan memberikan nomer togel dengan gaya seakan-akan dia memang masih hidup. Alih-alih suasana mencekam, peristiwa kerasukan itu malah menjadi ajang reuni keluarga dan penuh canda tawa. Saya tak tahu persis apa yang dikatakan om karena sebagian besar disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah, tapi saya sempat berkenalan dengannya. Sebuah peristiwa yang tak akan terlupakan sepanjang hidup saya. Om tak hanya datang sekali, tapi sekitar 4-5 kali selama saya berkunjung kesana dan setiap kali datang, om akan bertahan sekitar 2-3 jam. Om dapat mengungkapkan kembali apa yang kami bicarakan dan apa yang kami rencanakan dengan tepat dan buat saya itu benar-benar menakjubkan.Satu hal yang buat saya penasaran adalah apakah Om dapat membaca apa yang kami pikirkan tapi tak terkatakan? Menurut pasangan saya sih itu tak dapat dilakukan tapi siapa yang tahu ? Suatu saat ketika saya sudah kembali ke Jakarta, Om datang dan dapat mengungkapkan kegalauan hati saya dan pasangan tentang sesuatu hal. Yang buat saya surprise adalah topik yang buat kami galau itu, kami bicarakan melalui YM. Jadi apakah Om bisa baca YM juga ? 
Beberapa kali kedatangan Om, kesan yang saya tangkap adalah penuh dengan suasana mistis dan menegangkan karena mungkin ada masalah yang sedang dihadapi oleh keluarga besar berkaitan dengan ilmu-ilmu hitam tapi entahlah...itu hanya pengamatan saya sebagai orang awam saja. Namun reaksi pasangan saya, tak urung juga sempat menciutkan nyali saya...membuat bulu kuduk merinding namun saya pendam saja, berpura-pura tak takut. hehehehehe... Mudah-mudahan kalau saya betul-betul tinggal disana, hal-hal seperti itu tak akan terjadi...Amin!


 Salah satu makam keluarga (Om pastor) yang kami kunjungi di Seminari Rita Piret

-to be continued to part 2...