Kamis, 03 November 2011

DeBoeng is writing something

Tahun 2011 dapat dikatakan bukanlah tahun terbaik saya. Saya mengalami kebangkrutan finansial, beberapa bulan kehidupan tak tentu arah, dan jobless. Rasanya semua kesialan kompak terjadi di tahun 2011 ini dan apa yang sudah saya lakukan untuk kembali bangkit ? Tak ada sama sekali. Saya seperti tak punya daya juang, hanya menunggu sesuatu yang lebih baik akan terjadi dalam hidup saya tanpa sungguh-sungguh berusaha mendapatkannya. Dan parahnya, saya juga seringkali terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu sehingga perasaan, pikiran dan tingkah laku seringkali mengkhianati kenyataan yang sebenarnya. Saya hanya duduk-duduk saja menggemukkan badan, persis seperti hewan ternak yang akan dikurbankan di hari raya kurban tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Saya tak muda lagi tapi saya malah tak bergerak untuk melakukan sesuatu yang berguna untuk sisa hidup saya. Entah apa yang salah, tapi bermalas-malasan, doing nothing, tak bertanggung jawab rasanya nikmat sekali. Tapi jiwa saya tak bisa dibohongi! Setiap saat, ada letupan-letupan perasaan dan pikiran yang membuat saya tidak tenang, merasa tak komplit sebagai seorang manusia dewasa. Rasa cemas, takut, kuatir akan masa depan sering terlintas tapi saya tetap tak melakukan apa-apa. Hmmm...jika dipikir-pikir sebenarnya saya bisa melakukan banyak hal yang berguna selama masa kosong ini, seperti membaca kembali teori-teori tentang HRD-dunia karir saya, menulis, merapikan kembali kekacauan-kekacauan yang saya buat tapi memang yang namanya SETAN itu sulit untuk ditepis. 
Maka untuk membangkitkan hidup saya lagi, saya mencoba menulis sesuatu...entah itu bermakna atau tidak...hanya demi mengasah intuisi perjuangan saya, mengingatkan saya bahwa saya adalah seorang pejuang...not a loser! (terima kasih untuk blog teman-teman lama yang telah menyalakan 'api' dalam jiwa saya meski nyalanya masih kecil)
Menulis memang terapi yang handal ketika hidup sedang berada dalam titik nadir...sebuah pengingat yang abadi akan drama kehidupan...

ditulis ketika sedang membuang waktu di daerah Trisakti, Grogol

Kamis, 01 September 2011

Konvoi Motor

Pemandangan yang sering dijumpai ketika ritual mudik terjadi adalah
adanya konvoi motor pemudik yang bertujuan ke suatu kota tertentu atau
menggunakan merk sepeda motor tertentu. Mudik dengan menggunakan motor
beberapa tahun belakangan ini menjadi trend dan semakin diminati oleh
masyarakat karena harga motor yang semakin terjangkau dan juga mudik
menggunakan kendaraan sendiri memiliki waktu yang lebih leluasa
dibandingkan dengan menggunakan kendaraan umum. Dan tak asyik rasanya
jika mudik menggunakan motor hanya sendirian saja, karena itu banyak
yang memutuskan untuk melakukan konvoi. Tujuannya bukan hanya agar tak
sendirian di jalan, tapi juga meningkatkan keamanan dan keselamatan.

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku kuliah,
saya juga senang melakukan konvoi motor. Tujuannya tidak jauh sih
hanya Jogja-Wonogiri atau sebaliknya karena konvoi itu dilakukan saat
mudik ke Jogja dari lokasi KKN. Kami menggunakan 5 motor atau kurang
bersama-sama pergi ke Jogja atau hanya sekedar main ke kota. Tak ada
penanda khusus yang kami kenakan untuk menyatakan kami adalah 1
rombongan, seperti pita atau jaket. Dalam berkendara secara
berombongan, biasanya kami merasa lebih tenang karena merasa memiliki
teman perjalanan, jika terjadi sesuatu di jalan maka ada teman-teman
yang selalu siap sedia membantu, dan perjalanan lebih efektif karena
bisa bergantian menjadi pengemudi jika ada yang kecapaian. Biasanya
kami sudah saling mengenal style mengemudi masing-masing personal
sehingga ketika di jalan kami akan langsung dapat memposisikan diri
siapa yang jadi leader, siapa yang di tengah dan siapa yang di
belakang. Jarak kami dalam berkendara tak boleh jauh-jauh untuk
menjaga satu sama lain dan memastikan jika ada yang mengalami masalah,
maka yang lain akan tahu. Jika ada yang jaraknya terlalu jauh maka
yang di depan akan sengaja melambatkan jalannya atau berhenti untuk
menunggu. Sungguh kental rasa persahabatan dan persaudaraannya. Namun
ada juga ruginya berkonvoi seperti itu, terutama kalau tak satupun
dari anggota konvoi tahu arah jalan, maka satu tersesat semua akan
tersesat. Tapi tersesat beramai ramai lebih baik daripada tersesat
sendiri.

Suatu hari ingin juga melakukan konvoi motor lagi tapi dengan jarak
yang pendek-pendek saja mengingat usia tak muda lagi dan stamina sudah
berkurang.

--
Sent from my mobile device

Jumat, 19 Agustus 2011

Who said that cover is not important?

Hari ini saya mengalami peristiwa yang sedikit memalukan. Siang
menjelang istirahat, saya dipanggil oleh direktur HRD. Saya memang
biasa dipanggil oleh beliau untuk tugas-tugas nan ajaib di
tengah-tengah kerepotan saya mengerjakan berbagai tugas rutin. Tapi
rupanya kali ini beliau tidak memanggil saya dalam rangka memberikan
tugas, namun memberikan sedikit feed back atas penampilan saya. Saya
dinilai 'lusuh' dan kali ini memang harus saya amini. Pagi-pagi saya
sudah bingung akan pakai baju apa karena baju-baju terbaik saya
semuanya sedang masuk dalam keranjang cucian. Damn! Akhirnya pilihan
jatuh pada pakaian yang memang jauh dari trendi dan saya-pun merasa
kurang nyaman memakainya. Mungkin body language saya-pun mengatakan
demikian sehingga secara keseluruhan saya-pun jadi kelihatan tidak
menarik. Si ibu direktur-pun mengkoreksi penampilan saya karena saya
berada di posisi strategis dan sebaiknya berpenampilan profesional. No
hurt feeling! Saya terima masukannya dan saya memang juga merasa tidak
nyaman dengan penampilan hari ini, ditambah lagi dengan beberapa
agenda kerja yang berantakan.
Satu hal yang membuat saya berkesan adalah si ibu menyampaikan bahwa
kita hidup di Indonesia dan culture Indonesia masih sangat
memperhatikan penampilan. Benarkah begitu? Hmmm...mungkin juga! Karena
jumlah penduduk yang jutaan banyaknya, maka orang-pun harus
menggunakan berbagai cara untuk dapat menarik perhatian orang lain.
Salah satu cara paling mudah adalah lewat penampilan. So...who's gonna
say that cover is not important? Untuk tertarik membaca sebuah buku,
maka cover haruslah dibuat se-atraktif mungkin sehingga orang akan
datang untuk memegang, membaca sinopsisnya, membeli, merobek
plastiknya dan kemudian membacanya. Jika ternyata isinya jelek...it's
ok...karena buku tersebut toh telah terbeli dan terbaca. Sampul yang
tak menarik...orang-pun enggan untuk melirik.

Fiuh! Tapi untuk tampil menarik butuh dana yang tidak sedikit apalagi
jika kita tidak memiliki sedikitpun tabungan atau modal awal. Dan
itulah yang terjadi pada saya. Damn yang kedua! Adakah yang ingin
mengajak saya berbelanja? Really need a make over...apalagi sekarang
di usia 30-an, jerawat malah banyak bermunculan...kenapa juga baru
datang sekarang? Kemana saja selama 30 tahun ini...benar-benar muncul
di saat yang tidak tepat!

*ditulis saat sedang tidak punya uang dan harus belanja perlengkapan
untuk tampil cantik*

--
Sent from my mobile device

Senin, 15 Agustus 2011

Up In The Air: U're fired!

Malam ini adalah malam pertama saya memulai kembali hobby yang lama
saya tinggalkan karena berbagai kesibukan, yaitu nonton film. Saya
suka menonton film karena selain menghibur, biasanya film selalu dapat
memberikan energi positif karena film membawa pesan-pesan yang
tersirat yang memberikan motivasi untuk hidup.*asal bukan film horor*
Pilihan film untuk hari ini adalah Up In The Air yang dibintangi oleh
George Clooney, bintang film gaek yang semakin mempesona ketampanannya
saat usia bertambah.
Up In The Air bercerita tentang Ryan Bingham yang berprofesi sebagai
'tukang pecat'. Ia bekerja di semacam konsultan yang memberikan jasa
kepada suatu perusahaan untuk melakukan tugas memecat karyawan.
Pekerjaan yang aneh sekaligus tidak menyenangkan sama sekali. Saya
pernah memecat orang dan itu buat saya benar benar merasa tidak nyaman
dan bersalah. Seharusnya saya memang menonton film ini sejak dulu
sehingga saya dapat melakukan tugas tidak mengenakkan itu dengan penuh
empati, memberikan pencerahan kepada yang dipecat dan menguntungkan
bagi semua pihak. Ryan Bingham punya pendekatan yang sangat apik dalam
menjalankan tugas memecat itu, yaitu Ia membuat orang yang dipecat
berpikir bahwa dipecat adalah bukan akhir dari segala-galanya, setiap
orang punya kesempatan untuk meraih hal baru dan pasti dapat mengatasi
semua kendala itu karena mereka berjuang untuk orang-orang yang mereka
kasihi. Tentu saja menanamkan hal itu dalam pikiran orang yang akan
dipecat bukanlah hal yang mudah, butuh teknik komunikasi persuasif
yang mumpuni agar mereka tetap termotivasi dan tidak jatuh depresi.
*Ia pantang mengatakan 'U're fired!'* Orang yang dipecat pasti reaksi
pertamanya adalah emosional, tapi bagaimana dapat mengarahkan emosi
itu menjadi sebuah kesadaran positif adalah hal yang paling sulit.
Baru baru ini saya mendengar bahwa perusahaan saya sebelumnya
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap puluhan karyawannya karena
proyek tak ada dan bisa ditebak...proses itu tak berjalan mulus,
timbul anarki yang merugikan banyak pihak. Mungkin hal itu tak akan
terjadi jika HRD sebagai pihak yang mendapat tugas tak mengenakkan itu
meluangkan sedikit waktunya untuk berbicara terhadap satu persatu
karyawan yang akan dipecat dengan penuh empati dan memberikan semangat
bahwa mereka tetaplah orang-orang yang memiliki nilai lebih dan pasti
akan tetap dapat survive meski tak lagi bekerja di perusahaan itu. HRD
yang ketiban sampur melakukan tugas pemecatan jamaknya selalu ingin
melakukan tugas ini dengan cepat dan taktis serta ingin cepat-cepat
lari dari tugas tersebut karena itu memang tugas yang berat. Sikap
ketergesa-gesaan inilah yang akhirnya berbuah pil pahit karena
dianggap tidak berperikemanusiaan, raja tega dan memotong hak hidup
orang lain. Percayalah...dalam melakukan pekerjaan yang satu ini,
unsur kecepatan dan pragmatis harus diabaikan karena akan berujung
lebih tidak mengenakkan dan merugikan. Mungkin tidak harus menggunakan
cara seperti di film Up In The Air, tapi yang terpenting adalah
gunakan empati dan kata-kata positif untuk meminimalkan efek negatif
dari proses pemutusan hubungan kerja.
Wanna try this job?
--
Sent from my mobile device
--
Sent from my mobile device

Rabu, 27 Juli 2011

Orang lokal vs Orang bule

H3 : Mataram - Senggigi

Setelah terombang ambing di lautan selama kurang lebih 4 jam, akhirnya kapal fery-pun menyentuh daratan Lombok...here we come! Melihat kondisi pelabuhan Lembar, nyiut juga nyali karena tak terlihat satupun angkutan umum dan kondisi pelabuhannya-pun jauh dari bayangan. Dalam hati kecil, bersyukur juga memilih angkutan langsung ke Mataram dari Ubung. Sampai di terminal Mandalika, Mataram pk. 09.45. Lagi-lagi terminalnya jauh dari bayangan. Sepi, tak ada papan petunjuk sama sekali. Sambil sibuk menolak para calo angkutan dan tukang ojek, kami mengedarkan pandangan ke seluruh terminal mencari-cari petunjuk. Nihil! Akhirnya, kami memutuskan untuk cari info sambil makan karena kebetulan perut juga keroncongan. Duduk makan nasi balap dengan lauk sambal belut yang enak banget dan harganya-pun murah, yaitu Rp. 10.000. Iseng-iseng tanya pada ibu penjual tentang angkutan menuju Senggigi. Eh, jawaban si Ibu tidak mencerahkan tapi malah buat bingung karena si Ibu merangkap jadi calo juga, tepatnya calo ojek. Kata si ibu, kalau naik angkot warna kuning ke Senggigi bisa kena Rp. 150.000...tapi silahkan ditawar saja. Masalahnya kami tidak tahu berapa harga normalnya. Menurut info yang kami pegang, ke Senggigi bisa naik angkutan L300 dengan ongkos Rp. 5.000, tapi sejauh mata memandang tak tampak satupun benda bermotor yang menyerupai L300. Si ibu kemudian menawarkan sebuah solusi, yaitu naik ojek seharga Rp. 30.000. Fiuh! Mahal plus agak ngeri naik ojek di negeri orang-takut ada apa apa...*perasaan yang mungkin wajar dirasakan oleh perempuan ketika di tempat asing* Karena mengetahui kami asing di tempat itu dan tampak sekali kalau baru pertama kali ke Lombok, kami 'dikepung' oleh beberapa orang yang nampaknya tukang ojek. Mereka mencoba mengambil kesempatan untuk menawarkan jasa. Takut dan tak tahu harus berbuat apa...akhirnya dengan sedikit nekat, kami memutuskan cari angkutan di luar terminal karena tak sengaja saya melihat ada L300 di luar terminal. Jalan keluar terminal berharap lolos dari para calo, tapi ternyata harapan kami semu saja. Kami ditawari berbagai macam angkutan yang kami tak tahu mana yang benar. L300 ternyata tak ada yang langsung ke Senggigi! Duh...pemberi informasi di blog itu dapat info darimana sih...*geram dan gemas karena kami kurang survei awal* Akhirnya ada seorang Ibu yang baik hati menunjukkan satu angkutan menuju Senggigi, tapi memang harus ganti angkutan 2 kali. Pertama, kami naik angkutan dalam kota warna kuning sampai ke pasar kebonruik. Saya tidak tahu tarif pastinya berapa, saya berikan Rp. 10.000 untuk berdua, tak kembali dan si sopir mengucapkan terima kasih yang cukup berlebihan menurut saya. Hmm...nampaknya ongkosnya tak sampai segitu...tapi entahlah! Dalam angkot itu, kami bertemu seorang bapak petugas pengamanan (seperti satpol PP) yang menawarkan bantuan jika kami terlibat masalah selama di Senggigi karena katanya daerah itu kurang aman. Si bapak yang akhirnya kami tahu namanya Tajudin dapat ditemui di pos Amphibi di terminal Mandalika *serasa mendapatkan keluarga di tempat asing* Dari pasar kebonruik, kami pindah angkutan pedesaan ke arah Senggigi. Lagi-lagi kami dapat sopir angkutan yang baik tapi tetap tidak tahu ongkos yang pasti menuju Senggigi. Bapak Mahli, nama sopir angkudes itu, berjanji menunjukkan tempat penginapan yang murah meriah di Senggigi. Hmmm...si bapak rupanya bisa melihat kalau kami turis dengan dana cekak. Perjalanan ke Senggigi cukup jauh dan saya terus berhitung kira-kira berapa ongkosnya. Akhirnya, saya memberikan Rp. 30.000-harga yang cukup mahal mungkin tapi bagi saya itu adalah sebuah ungkapan terima kasih atas kebaikan di bapak di tengah kebingungan kami di tanah orang. Pak Mahli menepati janjinya, ia mengantarkan kami ke penginapan murah, yaitu Sonja-yang kata teman memang banyak direkomendasikan di antara backpacker. Masih banyak kamar kosong waktu kami datang jadi kami bebas memilih. Dengan harga Rp. 90.000/kamar, kami mendapatkan sebuah kamar mungil dengan fasilitas ranjang spring bed dengan kelambu plus kamar mandi dalam yang menggunakan korden alih alih daun pintu, kipas angin dan sarapan. Tak banyak tamu yang menginap karena bukan musim liburan. Kami langsung bergegas untuk bersih-bersih badan karena badan rasanya lengket dan kotor setelah 1,5 hari tak mandi dan di kereta kemarin udara sangat panas. Mandi kali ini benar-benar seperti anugerah di tengah teriknya matahari di bumi Lombok *lebay.com*  Setelah mandi, saya dan teman memutuskan untuk mencari makan karena perut rasanya lapar setelah petualangan mencari angkutan ke Senggigi. Tak banyak warung makan yang ok menurut kantong dan selera kami hingga akhirnya kami berakhir di warung nasi dekat penginapan. Saya minta oseng-oseng kikil dan ternyata si ibu memberikan tambahan beberapa lauk, yaitu ayam sambal, tahu, telur dadar dan orek tempe. Hmmm...apa itu memang paketnya warung nasi tersebut ya kok rasanya terlalu komplit tambahan lauknya. Saya sudah siap-siap membayar mahal ketika selesai makan, tapi ternyata 2 porsi nasi dengan lauk yang sangat komplit ditambah 2 teh botol dan 1 krupuk hanya Rp. 21.000. Murah sekali! Perburuan berikutnya adalah mencari motor sewaan untuk keliling Lombok karena angkutan menuju berbagai tempat wisata sangat sulit di dapat dan kantong kami tak cukup tebal untuk menggunakan jasa travel agent. Di sekitar penginapan, ada banyak sekali jasa persewaan motor/mobil, namun beberapa tutup karena sedang sholat Jumat. Kami berusaha mencari motor manual karena tidak PD dan tidak terbiasa menggunakan motor matic. Di salah satu tempat persewaan dekat warung nasi kami melihat ada beberapa motor manual yang diparkir jadi kami memutuskan untuk menyewa dari tempat tersebut. Tak ada penjaganya, hanya 3 anak kecil yang sedang bermain-main di gerainya. Ketika si anak bertanya pada si bapak di dalam rumah, ia bilang motor sewaan sudah habis. Hmmm...ok-lah kalau begitu! Kami pindah ke tempat sewa yang ada di samping penginapan. Si mas penjaga gerai kelihatan ragu-ragu ketika melihat kami. Dia bilang pada si boss yang entah ada di mana...dan inilah jawaban yang kami dapat, "Maaf, mbak...kita gak sewakan pada orang lokal. Boss bilang gak bisa!". He? Yah...menurut info, para penyedia jasa ini memang lebih percaya pada turis asing daripada turis domestik karena menurut mereka turis domestik banyak yang melarikan kendaraan sewaan mereka. Dan, sekarang kami merasakan sendiri diskriminasi yang terjadi karena ulah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Fiuh! Susahnya jadi pelancong di negeri sendiri padahal kami sama mampunya dengan para turis bule itu. Di terminal jadi sasaran calo, mau sewa kendaraan tidak dipercaya. Penolakan itu membuat darah sedikit naik ke ubun-ubun, apakah segitu parahnya kelakukan orang Indonesia sehingga akhirnya semua orang Indonesia di-cap 'jahat' oleh para penyedia jasa seperti mereka ataukah mereka yang terlalu lebay dalam menjaga properti mereka ? Yah...yang jelas kami adalah warga negara yang baik yang tidak akan melarikan motor sewaan untuk digadai atau dijual, tapi siapa mau percaya karena warna kulit kami sama coklatnya, rambut sama hitamnya, mata sama beloknya, KTP-pun bertuliskan negara yang sama dengan para penjahat yang suka mengambil barang milik orang lain tanpa ijin itu. Sempat terbersit pikiran iseng...bagaimana jika mengaku sebagai orang Malaysia ? Kan secara fisik sama...uuuh...tapi dialek bahasa tak bisa menipu. Pulang ke penginapan dengan langkah gontai...kami bertanya pada pengurus penginapan apakah punya motor yang disewakan kepada kami. Si pengurus bilang ada motor manual yang bisa dipakai, dan belum sempat kami bilang iya, tiba-tiba pemilik penginapan muncul dan bilang bahwa motornya sudah habis disewa, tidak ada lagi yang tersisa. Ya ampun...di penginapan sendiri-pun, kami tak dipercaya. Tapi, pemilik penginapan masih baik hati. Ia menyuruh kami mencoba di dekat pasar seni. Yah...apa salahnya mencoba. Dengan sedikit perasaan cemas, kami jalan menuju pasar seni. Tepat di samping pasar seni, ada persewaan motor. Si penjaga sedang asyik mendengarkan lagu-lagu dari laptopnya sambil bertelanjang dada. Dan begitu kami menyampaikan keinginan kami untuk pinjam motor, dia langsung bertanya untuk berapa hari. Ah...dia mau menyewakan motornya. Hore! Kami beruntung, masih ada 1 unit motor yang tersisa untuk disewakan, yaitu Yamaha Mio warna putih. Si mas penjaga meminta KTP kami sebagai jaminan dan kami menyerahkan ongkos sewa untuk 2 hari sebesar Rp. 100.000, maka motor-pun berpindah tangan ke kami. Yippie! Akhirnya, ada juga yang menyadari bahwa kami adalah orang baik-baik dan tidak layak untuk diperlakukan berbeda dari orang bule karena sama terpercayanya dengan mereka. 
Target berikutnya setelah kami mendapatkan motor adalah mencari peta. Sayangnya di tempat kami sewa motor tak ada peta yang tersisa dan ia menyarankan kami untuk mencarinya di supermarket. Peta wisata Lombok itu terdapat di buletin Lombok Guide. Setelah mendapatkan peta, maka kami-pun travelling menggunakan motor mencari tempat-tempat yang asyik untuk menikmati pemandangan sore. Tujuan pertama kami adalah Pura yang terletak di pinggir pantai. Pemandangan dari atas pura tersebut sangatlah eksotis dan momen foto-foto narsis pertama kami dilakukan di pura tersebut. Puas berfoto, kami menjelajah pantai lagi hingga sampai di pantai private, yaitu Coco Beach. Ada gugusan karang di pantai tersebut yang merupakan spot yang indah untuk menikmati deburan ombak laut dan tentu saja untuk berfoto narsis. Menikmati rujak buah sambil menunggu matahari terbenam adalah momen terindah sore itu yang kami dapatkan pada hari pertama di Lombok. Menjelang malam, kami-pun berburu makanan untuk mengisi perut yang terasa mudah lapar sejak pertama kali menginjakkan kaki di Lombok. Pilihan kami adalah di sebuah cafe tak jauh dari penginapan yang menjual menu khas Lombok. Kami memilih hidangan laut dan tak lupa plencing kangkung. Rasanya lumayan, tapi yang penting adalah harganya sesuai dengan kantong. Dengan menu yang cukup lumayan banyak untuk ukuran kami berdua, hanya menghabiskan Rp. 60.000. Cukup murah kan mengingat daerah ini adalah daerah wisata dengan banyak turis asing. Berbincang-bincang dengan pramusaji cafe, kami mendapatkan info yang sangat penting, yaitu jika kami jalan lurus dari cafe tersebut maka kami akan mendapatkan Pantai Senggigi. Heh? Kami tersenyum-senyum sendiri...baru sadar bahwa sejak siang tadi kami tiba, kami memang tidak pernah tahu dimana letak persisnya Pantai Senggigi. Menurut perkiraan kami, sepanjang daerah tersebut semuanya adalah Pantai Senggigi, ternyata kami keliru. Akhirnya kami buka peta kembali dan foila...memang benar apa yang dikatakan oleh pramusaji itu. 
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk mencoba ke Pantai Senggigi namun begitu sampai di lokasi, kami urungkan niat. Parkiran pantai Senggigi sangatlah gelap dan tak ada penerangan di pantai sedikitpun, padahal menurut pramusaji, Pantai Senggigi ramai hiburan jika malam tiba. Hmmm...mungkin karena ini masih hari Jumat, maka tak ada hiburan yang digelar di pantai. Kami-pun memutuskan untuk balik kanan, esok saja kami coba lagi. Kami-pun memutuskan untuk melihat-lihat pasar seni di dekat tempat kami menyewa motor. Pasar seni isinya standar dan seperti souvenir-souvenir yang banyak dijumpai di Bali, tak ada yang istimewa menurut kami-bahkan di Jogja-pun banyak dijumpai souvenir serupa. Pasar seni malam itu juga sepi pengunjung seperti halnya Pantai Senggigi. Karena lelah, kami memutuskan untuk tidur cepat, lagipula esok kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk mulai perjalanan ke Gili Trawangan. 

Lesson of the day : Diskriminasi tak hanya diterapkan oleh bangsa penjajah, tapi terkadang juga oleh bangsa sendiri. Stop diskriminasi! Stop mental negara jajahan!

Selasa, 26 Juli 2011

Life is full of grey colour

Akhir-akhir ini saya dibuat bingung akan semua konsep hidup yang sudah
saya pegang selama bertahun-tahun. Ada apa gerangan ? Tak lain karena
konsep hidup saya banyak bertentangan dengan konsep hidup yang
diyakini oleh pasangan saya. Dan gawatnya, kami sama-sama meyakini
bahwa apa yang kami pahami tentang konsep-konsep itu adalah benar.
Akibatnya kami sering bertengkar hebat tentang hal-hal tersebut,
seringkali akhirnya saling diam.

Salah satu konsep hidup yang sering jadi sumber pertengkaran kami
adalah tentang sifat manusia. Bagi pasangan saya, jika seseorang itu
baik maka ya seterusnya adalah baik, dan sebaliknya jika orang itu
jahat maka seterusnya orang itu adalah jahat. Buat saya konsep itu
agak tidak masuk akal karena manusia dilahirkan dengan bekal akal
budi, sekaligus nafsu yang sering disebut dengan id sehingga manusia
jamak melakukan hal baik karena perilakunya senantiasa dikontrol oleh
akal budi dan juga melakukan hal jahat karena perilakunya ditujukan
untuk memuaskan id-nya. Jadi manusia tidak selalu baik, juga tidak
selalu jahat. Plus, baik dan jahat juga seringkali tergantung dari
sudut pandang ketika kita menilai konteks permasalahan yang
melingkupinya. Bisa jadi seseorang menilai apa yang dilakukannya
adalah baik, tapi tidak untuk orang lain karena apa yang dilakukannya
tersebut ternyata merugikan orang lain. Misal, ketika seorang kepala
daerah memutuskan untuk menggusur perumahan ilegal karena akan
dijadikan proyek saluran air hujan untuk menyelamatkan kota dari
musibah banjir tahunan. Bagi orang-orang yang terkena penggusuran
tentu saja tindakan kepala daerah itu jahat karena menyebabkan mereka
tak memiliki tempat tinggal, tapi apakah tindakan kepala daerah bisa
dibilang jahat jika dia ingin menyelamatkan kota dari banjir ?

Buat saya, hidup tak melulu hitam dan putih, tapi juga abu-abu. Bahkan
abu-abu yang seringkali mendominasi kehidupan kita. Apakah Anda setuju
dengan saya?

Entah sampai kapan saya dan pasangan akan terus bermasalah tentang
konsep ini, tapi saya harap perbedaan ini tak kan melunturkan cintanya
terhadap saya. Bukankah cinta akan lebih berwarna ketika ada perbedaan
di dalamnya agar saling melengkapi ? Tapi tentu saja, harus tetap ada
persamaan agar cinta menjadi maju, tak diam di tempat tanpa
menghasilkan apapun juga.

*curahan hati ketika sedang galau*

--
Sent from my mobile device

Senin, 25 Juli 2011

Menunggu

Jika Anda diberikan pertanyaan berikut, "Kegiatan apa yang membuat
Anda paling jengkel?" Saya yakin jawabannya adalah menunggu. Mengapa
hal itu membuat jengkel? Karena menunggu membuat kita tidak
mendapatkan kepastian dan dibuat dalam kondisi tidak berdaya. Saat
ini, saya tengah mengikuti proses seleksi di sebuah perusahaan. Entah
apa yang salah dalam sistem mereka, tapi beberapa kali datang ke
kantor mereka, saya mengamati dan merasakan sendiri bahwa kandidat
diminta datang jam sekian, tapi pada prakteknya, kandidat baru akan
diproses setelah 1 jam atau lebih. Kandidat dibiarkan menunggu di
lobby tanpa mendapatkan keterangan mengapa mereka harus menunggu.

Tak banyak yang bisa dilakukan untuk membunuh waktu selama menunggu.
Keluar kantor tak bisa karena takut sewaktu-waktu dipanggil, membaca
tak bisa karena tak disediakan bahan bacaan, makan minum-pun tak bisa
karena rasanya tak etis. Serba salah! Membuat kandidat menunggu
sebenarnya bukanlah hal yang baik karena harus disadari bahwa kandidat
tak hanya punya agenda di tempat tersebut, bisa memiliki acara di
tempat lain juga. Jika waktu molor dari kesepakatan awal, bisa
dibayangkan bagaimana rumitnya kandidat harus mereschedule jadwalnya.
Tapi dalam proses seleksi seperti ini, perusahaan ada di pihak yang
berkuasa tentu saja. Kandidat adalah orang yang membutuhkan pekerjaan
dan menunggu adalah sedikit pengorbanan serta usaha yang harus
dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Tapi, jika bisa
melakukan segalanya tepat waktu dan terjadwal dengan baik, mengapa
harus membuat orang lain menunggu? Bukankah yang nantinya rugi juga
citra perusahaan itu sendiri ?

Urusan tunggu menunggu ini, saya seperti mendapatkan karma karena dulu
sering meminta kandidat untuk menunggu saya melakukan hal-hal lain
yang saya anggap lebih penting padahal saya juga yang membuat janji
bertemu dengan mereka. Menunggu adalah hal yang tidak enak, dan saya
bertekad dalam hati, jika suatu saat saya harus berurusan dengan
kandidat lagi...saya akan berusaha tepati janji saya...stop membuat
kandidat menunggu dan membuang waktu mereka.

*curhat nggak penting karena kelelahan menunggu lebih dari 1 jam*

--
Sent from my mobile device

Jumat, 03 Juni 2011

Jakarta-Jogjakarta-Denpasar

Pelajaran penting jika ingin melakukan perjalanan dengan biaya rendah
atau low cost adalah lakukan persiapan yang matang dan jangan percaya
pada satu sumber informasi.
Saya dan seorang teman kuliah merencanakan perjalanan ke Lombok dalam
waktu yang singkat. Kami tak bertemu muka untuk membahasnya dan hanya
menggunakan modal browsing internet untuk cari tahu tentang bagaimana
mencapai Lombok dengan murah dan apa saja yang akan kami lakukan di
sana. Karena kesibukan masing-masing, kami tak sempat eksplore dalam
tentang masing-masing info yang kami peroleh dan bodohnya, kami
mempercayai 1 sumber informasi yang setelah kami baca cermat, hanya
membuat rencana perjalanan tapi tidak ada laporan dia akhirnya
melakukan perjalanan tersebut. Sebuah kesalahan fatal!

H1 : Jakarta-Jogja, Jogja-Surabaya
Tanggal keberangkatan kami tentukan mendadak dan tanpa pertimbangan
yang matang, hanya berdasarkan pada long weekend. Itu artinya hanya
seminggu setelah punya ide ke Lombok bersama-sama. Saya yang berpikir
praktis, memilih menghampiri teman ke Jogja-sebuah pertimbangan
praktis yang dalam pelaksanaannya ternyata tidak praktis sama sekali
karena menghabiskan energi. Saya berangkat ke Jogja menggunakan kereta
Fajar Utama pada tanggal 1 Juni 2011 pagi dengan biaya Rp.120.000.
Tiba di Jogja sore hari, dan harus melanjutkan perjalanan ke Lombok
malam harinya. Saya tak sempat istirahat setelah perjalanan yang cukup
panjang. Harusnya kami bertemu di Surabaya saja...jalan tengah dan
dapat menghemat energi saya karena ternyata kami salah perkiraan. Bus
ke arah banyuwangi habis pk.20.00 dan kami baru tiba di terminal
Giwangan pk.22.00. Akhirnya kami harus ke Surabaya dahulu. Kami
memilih menggunakan bus patas dengan pertimbangan selisih biaya yang
tidak terlalu besar, yaitu 20 ribu saja. Kami menggunakan bus Eka
dengan biaya Rp.63.000 including meals. Not bad!

H2 : Surabaya-Denpasar, Denpasar-Mataram
Kesalahan kembali dilakukan pada saat pemilihan moda transportasi
menuju Bali. Alih-alih melanjutkan menggunakan bus dari terminal
bungurasih, kami memutuskan menggunakan kereta api seperti saran dari
sumber info yang kami dapatkan. Kami menggunakan kereta mutiara timur
dengan sedikit modifikasi dari sumber info. Jika sumber info hanya
sampai Banyuwangi, kami membeli tiket langsung Denpasar. Entah mana
yang lebih menguntungkan. Kami merogoh kocek Rp.150.000 untuk sampai
Terminal Ubung, Denpasar. Pemilihan ini membuat kami tak punya
guidance lagi, karena kami tidak dapat info tentang angkutan dari
Terminal Ubung ke Pelabuhan Padang Bai. Saya hanya mengandalkan logika
bahwa terminal Ubung adalah terminal antar kota, jadi mestinya ada
angkutan untuk kemana saja. Satu hal juga yang kami lupakan dalam
menyusun skenario perjalanan adalah we are girls dan ternyata kami
memiliki rasa keder ketika di tengah perjalanan, yang tampak hanya
laki-laki dan laki-laki. Kereta terlambat tiba di banyuwangi, otomatis
juga terlambat menuju denpasar. Sampai di Denpasar sudah larut malam,
sekitar pk.23.00. Terminal sudah sepi, kami kehabisan pilihan. Mungkin
belum kehabisan, tapi saya pribadi malas ambil resiko karena sudah
kelelahan. Kondektur bus PJKA menunjukkan pada kami bus eksekutif
tujuan Mataram. Tanpa pikir panjang dan tak bertanya, kami langsung
mengiyakan. Bisa ditebak jalan akhirnya...kami harus mengeluarkan uang
ekstra untuk sampai Mataram. Kegamangan karena dikelilingi calo, minim
informasi, tak ada keberanian untuk ambil resiko merupakan kombinasi
yang komplit dan kami harus membayarnya dengan harga Rp.160.000 untuk
perjalanan Denpasar-Mataram. Fiuh...total general kalau kami hitung,
perjalanan Jogja-Mataram habis biaya Rp.380.000-lebih mahal daripada
menggunakan bus Safari Dharma Raya yang tarifnya Rp.350.000 untuk
sampai Mataram dari Jogja. Huaaaaa...! Maunya dapat murah malahan
dapat mahal dan rugi waktu. Snif...snif... O ya, bus eksekutif yang
kami tumpangi, ternyata hobi ngetem...Janji jalan j00.00 WITA,
ternyata baru jalan menjelang pk.01.00 dan satu lagi yang buat kami
tercengang...ternyata pelabuhan Padang Bai itu dekat dengan terminal
Ubung, cuma 1/2 jam perjalanan. Hiks! Sampai di Padang Bai, bus itu
lagi-lagi parkir sampai jam 4 subuh dengan alasan yang saya kurang
tahu...Alhasil pk.07.00 WITA, kami masih terkatung-katung di tengah
lautan...

-to be continued-

--
Sent from my mobile device

Rabu, 01 Juni 2011

Last Day

Selasa, 31 Mei 2011, adalah hari terakhir perjuangan saya berkarya di
PT.M****Papua. Ada rasa kehilangan yang sangat ketika hari itu
akhirnya tiba. 3 tahun perjalanan saya akhirnya harus berakhir pada
sebuah hari yang gelap-diguyur hujan lebat. Saya masih ingat pertama
kali dulu saya bergabung dengan perusahaan itu. Ada semangat menggebu,
ada kebanggaan merasuk dalam diri saya. Cita-cita saya dari kecil
untuk bekerja di Papua terwujud, bahkan akhirnya di tempatkan di ujung
timur Indonesia-tak semua orang seberuntung saya:p Saya yang masih
hijau dalam dunia HRD nekat terjun ke kawah candradimuka di Merauke.
Berbekal pengetahuan seadanya, saya menjadi tim HRD yang pertama
tinggal di sana. Saya jatuh bangun ketika bekerja di sana.
Berkali-kali saya demotivasi, apalagi ketika cash flow perusahaan
sedang seret, tapi akhirnya berhasil bangkit dan berlari ketika saya
melihat dan merasakan bahwa kesempatan untuk membangun perusahaan
besar di tengah keterbatasan di tanah Papua ternyata sangat menantang
adrenalin saya. Yes...I love challenge!

Sejak awal berdirinya hingga akhirnya saya memutuskan untuk keluar,
saya telah kehilangan banyak teman-teman hebat yang berguguran.
Kehilangan yang sangat terasa adalah kehilangan manager saya, entah
kenapa sejak saat itu saya merasa kehilangan arah. Honestly, saya
sangat cocok dengannya dan ternyata akhirnya saya bermasalah dengan
penggantinya-tak cocok dengan gaya kepemimpinannya. Politik kantor
jua-lah yang akhirnya menghempaskan motivasi saya ke titik nadir.
Diperparah oleh kondisi cash flow yang tak menunjukkan titik terang,
gugatan masyarakat terhadap tanah yang tak kunjung mencapai titik
temu, dan keputusan-keputusan managemen yang tak menunjukkan sense of
crisiss. Selain itu, saya sendiri juga membutuhkan stimulasi lebih
untuk menjadi profesional di bidang HRD. 3 tahun di Papua, saya
kehilangan akses informasi dan itu juga berarti kehilangan ilmu
pengetahuan. Feels stupid if compare it with others! Saya berada di
zona nyaman yang membuat saya terkadang tampil arogan dan over
confidence. Tak ada yang menghentikan saya, tak ada yang mengontrol
saya...! Saya merasa keadaan itu lama-lama akan berpengaruh terhadap
kepribadian saya. Maka demi untuk kesehatan mental dan kemajuan ilmu
saya, saya akhirnya memilih keluar.

Tak ada air mata...hanya suara tertahan karena rasa haru harus
berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga. Kelak ketika
perusahaan itu benar-benar sukses, saya-pun telah turut menancapkan
jejak langkah saya di dalamnya. That's enough! Selamat tinggal
Merauke...! Terima kasih telah memberikanku banyak pelajaran dalam
hidup, terima kasih telah memberiku keluarga baru...!

Tulisan ini dipersembahkan untuk tim HRD yang hebat dan tim pioneer!
Love u,guys!

--
Sent from my mobile device

Senin, 23 Mei 2011

Next destination : Lombok

Setelah berkunjung ke Flores beberapa waktu yang lalu untuk mewujudkan
mimpi, maka mimpi saya selanjutnya adalah LOMBOK. Mengapa Lombok?
Alasannya sederhana dan mungkin sedikit tidak masuk akal, yaitu saya
baru saja menonton film Eat, Pray and Love yang dibintangi oleh Julia
Robert. Lalu apa hubungannya? Di film itu, ada adegan dimana
Liss-tokoh yang diperankan dengan apik oleh Julia-membaca sebuah buku
tour guide yang berjudul 'BALI dan Lombok'. Begitu melihat adegan
tersebut, tiba-tiba terbersit keinginan untuk menjelajah Lombok yang
di buku tersebut cuma ditulis dengan huruf kecil dan font yang lebih
kecil daripada Bali seolah-olah Lombok itu hanya bonus perjalanan.
Bali adalah daerah tujuan wisata yang umum dan mudah dijangkau oleh
siapapun, tapi Lombok? Tak banyak wisatawan yang datang kesana
meskipun jaraknya hanya sepelemparan batu dari Bali *membandingkan
jumlah wisatawan yang datang ke Bali dan Lombok*
Mumpung saya punya sedikit waktu luang akibat dampak dari resign dan
menunggu mendapatkan pekerjaan baru mengapa saya tak melakukan sebuah
petualangan baru? Ada sedikit uang dan ada seorang teman kuliah yang
tertarik bergabung maka jadilah sebuah rencana perjalanan ke Lombok.
Mengapa saya berani melakukannya di saat kondisi saya yang tidak
menguntungkan? Jawabannya adalah karena saya butuh sebuah pelampiasan
untuk meredakan semua ketegangan dalam diri (katarsis) dan saya butuh
sebuah pencapaian untuk mengangkat mental saya kembali menjadi
'individu' seperti dulu atau bahkan lebih baik lagi. Perjalanan-pun
dirancang berbudget minim karena keterbatasan dana dan juga ingin
merasakan semangat petualangan seperti jaman kuliah dulu. Merasakan
romansa perjalanan petualangan membangkitkan gairah dalam diri saya
seperti dulu ketika masih remaja.
Jika tak ada aral melintang, maka perjalanan ke Lombok akan kami
lakukan pada awal bulan Juni...Tunggu kami, Lombok..... untuk
menjelajahi indahnya lekuk tubuhmu...!
--
Sent from my mobile device

Minggu, 22 Mei 2011

Titik Nol

Titik Nol...
Bukan...saya tak hendak bercerita tentang kisah Agustinus Wibowo yang
berjudul sama dan dimuat di Kompas beberapa tahun yang lalu. Saya
ingin bercerita tentang Titik Nol saya sendiri. Apa arti bilangan nol
buat saya? Nol adalah kosong, nol adalah sebuah kehampaan atau
ketiadaan dan nol adalah sebuah lingkaran tak terputus yang kadang
kecil bentuknya, namun kadang besar juga. Nol itulah kondisi saya
sekarang. Meskipun banyak orang tak percaya bahwa saya mengalaminya,
namun inilah fakta yang terjadi dan saya mengalaminya karena sebagian
besar adalah akibat dari kebodohan hakiki yang saya miliki.
Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan di masa lalu menghempaskan saya
dari angka puncak menuju angka terendah,yaitu 0 (nol).
Saya memutuskan keluar dari pekerjaan saya yang sedang di puncak
karier. Apa salahnya dengan itu? Tak ada yang salah jika saya
mendapatkan yang lebih baik dari pekerjaan sekarang. Tapi
kenyataannya, saya keluar dari pekerjaan saya saat ini dan belum
mendapatkan pekerjaan baru. Saya mengambil resiko besar di tengah
beberapa kondisi yang kurang menguntungkan buat saya. Mengakhiri
pekerjaan yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan saya, yang
merupakan kebanggaan saya selama kurun waktu 3 tahun, dan menjadi
tanda eksistensi saya setelah saya melepas status pelajar. Bukan hal
yang mudah untuk saya hadapi karena saya terbiasa memiliki sesuatu
yang pasti dalam hidup saya. Saya terbiasa hidup dalam sebuah
keteraturan, biasa mengontrol segala sesuatu dan sekarang, saya tak
punya apa-apa. Seperti kembali ke titik nol ketika lulus dari
kuliah-berburu pekerjaan, survival dengan bekal seadanya karena tak
lagi bisa bergantung pada orang tua. Sebuah kondisi yang tak
mengenakkan...
Dan, kondisi ini ditambah lagi dengan bekal finansial yang tidak
mencukupi bahkan minus karena sebuah peristiwa yang tak mengenakkan di
akhir tahun berhasil menguras uang tabungan saya. Lengkaplah sudah
titik nol saya!
Apa yang sudah saya lakukan mengatasi hal ini? Nyaris tak ada! Saya
bahkan seperti terseret ke dalam arus putaran episode 'mengasihani
diri sendiri'. Saya berkutat dengan kegalauan perasaan-perasaan yang
saya rasakan semenjak kehidupan saya merosot. Perasaan malu, rendah
diri, tak berdaya, gengsi, kuatir menjadi satu dan saya bingung
bagaimana menghadapinya. Saya hanya takut saya melakukan hal yang
bodoh selama masa titik nol ini. Tapi untunglah, saya masih diberikan
akal sehat dan lingkungan pergaulan yang positif sehingga titik nol
perlahan bertumbuh dan berkembang meninggalkan titik statisnya. Memang
terkadang saya merasa frustasi dan kembali ke titik statis, namun
setiap kali saya jatuh, Tuhan selalu mengirimkan malaikat-malaikat tak
bersayapnya berupa teman yang mengingatkan saya untuk terus berjuang
dan yang terpenting membangkitkan rasa percaya diri saya bahwa saya
memang special!
Sebuah coretan untuk meredakan kecemasan, membuat saya untuk tetap
berpikiran 'waras' dan kelak sebagai pengingat jika saya sudah kembali
di titik teratas...
--
Sent from my mobile device

Jumat, 20 Mei 2011

Rajin Nge-blog

Rasanya produktivitas blog saya dari tahun ke tahun semakin menurun. Ada saja seribu alasan yang saya buat sebagai bentuk permakluman bahwa blog saya kurang update, mulai dari tidak ada waktu sampai terbatasnya sarana dan prasarana untuk nge-blog. Namun muara dari semua alasan itu sebenarnya adalah niat! Niat saya untuk menulis kurang kuat sehingga apapun alasan yang saya buat pasti akan terasa masuk akal.

Sekarang, saya berniat untuk menghilangkan seluruh hambatan untuk menulis dan update blog. Salah satu cara yang akan saya lakukan adalah berusaha untuk tetap dapat update blog meskipun menggunakan sarana yang minim. Voila! Akhirnya, saya menemukan cara posting yang mudah yang bisa dilakukan dimana saja asalkan saya membawa ponsel pintar saya, si Blackberry karena cara yang saya gunakan adalah mengirim posting blog melalui email. Dan karena Blackberry, saya bisa akses email saya dimanapun dan kapanpun. Ini adalah tulisan pertama saya menggunakan fasilitas tersebut. Jika tulisan ini berhasil Anda baca, berarti saya telah berhasil. Namun jika saya tidak berhasil, maka Anda-pun tidak akan pernah tahu saya telah membuat tulisan ini:p

Senin, 16 Mei 2011

Flores...family and love - bagian 2!

Seperti halnya daerah Indonesia Timur yang lain, ikatan kekerabatan di Flores juga sangat erat. Kakak adik tinggal berdekatan meskipun sudah memiliki keluarga masing-masing. Keluarga pasangan saya juga begitu. Orang tua pasangan saya sudah menyiapkan 3 rumah untuk nantinya diberikan kepada masing-masing anaknya yang kesemuanya berada dalam 1 kompleks. Jadi bisa dibayangkan bagaimana ramainya jika nanti kami semua tinggal disitu. Nenek dari mama tinggal tak jauh juga dari rumah orang tua pasangan saya dan usianya-pun sudah sangat lanjut, yaitu 97 tahun. Hebatnya, beliau masih tegap berdiri dan sanggup ke kebun untuk bercocok tanam...! Di Flores, sebutan Nenek berlaku pada laki-laki dan perempuan, tak seperti di Jawa dimana Nenek selalu merujuk pada perempuan. *dan ini baru saya ketahui setelah 3 hari berada di Flores-bodoh!* Sebutan untuk laki-laki adalah Nenek Ama dan sebutan untuk perempuan adalah Nenek Ina.

Disana, saya merasakan suasana kekeluargaan yang hangat dan erat sekali. Saya tak tahu persis apakah ini berlaku pada keluarga Flores yang lain atau memang kebetulan suasana kekeluargaan yang hangat itu hanya dimiliki oleh keluarga pasangan saya. Kata Om yang merasuki kakak perempuan (baca tulisan bagian 1), "Orang Maumere itu makannya banyak, omongnya juga banyak". Maksudnya adalah orang Maumere suka makan dan suka mengobrol . Dan kata-kata Om itu memang ada benarnya. Saya yang tak terbiasa makan pagi dipaksa untuk makan 6 kali sehari dengan porsi yang lumayan besar dan tetap saja buat mereka, saya itu ukurannya kurang makan. Hehehe...porsi makan saya sama dengan porsi makan keponakan pasangan saya yang usianya 6 tahun. Acara makan adalah acara yang penuh kehangatan karena makan sering dilakukan bersama-sama dan lauk seadanya-pun terasa nikmat di lidah ketika seluruh anggota keluarga berkumpul, duduk bersama untuk menikmati hidangan. Menu favorit keluarga adalah ikan bakar dan hore...saya berhasil membersihkan ikan dan membuat bumbu ikan bakar di bawah bimbingan pasangan saya. Pernah suatu hari, kami makan ikan jam 12 malam karena tak sabar menikmati ikan yang dibawa oleh kakak ipar pasangan saya dari tempatnya bertugas dan memang tak sia-sia membakar ikan tengah malam karena hasilnya memang luar biasa enak. Di sana, nasi 1 rice cooker ukuran sedang habis untuk 1 kali makan, sedangkan di rumah saya, 1 rice cooker ukuran sedang untuk makan seharian dan kadang esok paginya masih ada sisa. Tapi ternyata makan ikan bakar lebih nikmat dengan pisang yang digoreng tanpa tepung atau dibakar. Sayang, sambal disana terasa asin di lidah saya. Dapur juga rasanya tak pernah istirahat untuk terus men-supply kebutuhan makan dan berkumpul seluruh anggota keluarga.
Selesai makan, keluarga biasanya berkumpul untuk bercerita dan mengobrol. Event inilah yang disebut Om sebagai 'banyak omong'. Semua cerita mengalir tak henti-henti, dari obrolan tentang masa lalu, masa sekarang,  masa depan hingga obrolan omong kosong dan mereka betah berjam-jam untuk melakukan hal itu serta melakukannya dengan suara yang lantang. Stamina mereka memang hebat. Tak perlu jamuan makan mewah untuk menyatukan keluarga dalam sebuah kehangatan. Saya belajar bahwa cara memasak yang natural dan sederhana ternyata mampu membawa suasana kehangatan dalam keluarga karena semuanya dilakukan dengan semangat melayani seluruh keluarga dan gotong royong. 

Di keluarga bapa pasangan saya ada seorang tante yang tak menikah, begitu pula di keluarga mama. Menurut pasangan saya, ini adalah sebuah tradisi bahwa salah satu anak perempuan tidak boleh menikah agar tinggal di rumah orang tuanya dan merawat orang tuanya dalam usia senja hingga meninggal. Sebuah bentuk pengabdian yang hanya dapat dipahami dalam sebuah sistem kekeluargaan yang erat. Entah apa kata LSM pemberdayaan perempuan atau HAM tentang hal ini. Saya rasa mereka tak bisa mengatakan pengabdian tersebut sebagai sebuah bentuk pemaksaan kehendak atau pemasungan hak perempuan karena saya yakin semuanya melakukan hal itu dengan semangat kasih dan pelayanan terhadap keluarga. Namun rasanya hal itu sekarang sulit dilakukan seiring dengan jumlah anak yang semakin sedikit.

Dari keluarga pasangan saya *tak berani membuat generalisasi keluarga Flores pada umumnya-butuh riset lebih dalam*, saya belajar tentang arti sebuah cinta, pelayanan dan pengabdian.


- to be continued to part 3...

Flores...the dream come true! - bagian 1

Setelah bermimpi sekian lama tentang tanah Flores, akhirnya saya berhasil mewujudkan mimpi saya. Tanggal 19-28 April lalu saya berkesempatan pergi ke Flores meski tak mengeksplore keseluruhan pulau Flores yang membentang cukup luas, tapi hanya di daerah Maumere saja. Namun perjalanan itu adalah perjalanan yang tak akan pernah saya lupakan karena saya tak sekedar travelling kesana, tapi juga punya agenda lain, yaitu mengunjungi calon keluarga baru saya. Hehehehe...yup...saya dapat jackpot karena tak hanya berhasil berkunjung ke Flores, tapi juga mendapatkan pasangan hidup dari Flores. Jadi, perjalanan kemarin tak menitikberatkan pada eksplore keindahan alam Flores, melainkan fokus pada memahami budaya yang kelak akan menjadi budaya saya juga jika menikah dengan pasangan saya. 


Berangkat ke Flores menggunakan maskapai Batavia Air dengan rute Jakarta-Kupang dan Kupang-Maumere dengan harga tiket Rp. 1.400.000. Tak ada yang istimewa dengan penerbangannya, kecuali harus bangun pagi-pagi sekali dan berangkat dari rumah pk. 03.00 karena penerbangan dijadwalkan pk. 06.00. Fiuh! Saya berangkat dengan pasangan dan 2 saudara perempuannya. Barang bawaan saya hanya 1 tas, begitu juga dengan pasangan saya. Tapi, barang bawaan saudara perempuan pasangan saya luar biasa banyak hingga over baggage padahal sudah menggunakan jatah bagasi milik saya dan pasangan. Hal yang jamak terjadi untuk penerbangan ke Indonesia Timur karena banyak oleh-oleh untuk kerabat dan membawa barang-barang yang hanya dapat dijumpai di daerah Indonesia Barat. Jakarta-Kupang ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih 2,5 jam dan lancar. Namun tidak demikian dengan rute Kupang-Maumere. Meskipun jarak tempuhnya hanya 30 menit, namun penerbangan singkat itu membuat jantung berdegup kencang dan tak henti-hentinya memanjatkan doa mohon keselamatan karena sepanjang perjalanan, pesawat berguncang-guncang yang disebabkan oleh awan mendung tebal. Bahkan seorang penumpang ada yang sampai menangis karena ketakutan dan pramugari membatalkan pembagian snack karena kondisi tidak memungkinkan. *sementara saya...berpegangan erat pada tangan pasangan saya yang 'berpura-pura' tenang. wkwkwkwk*


Jam 14.00, kami tiba di Maumere. Udara panas langsung menyambut kami begitu menginjakkan kaki di bandara Frans Seda meskipun hujan baru saja berhenti. Menurut saya, bandara Frans Seda cukup luas dan bersih untuk ukuran bandara kabupaten, jika dibandingkan dengan bandara-bandara kabupaten lain, seperti Manokwari dan Biak. Kami dijemput oleh kakak perempuan pasangan lengkap dengan mujair-mujairnya *kami menyebut keponakan pasangan yang masih kecil-kecil dan ramainya minta ampun dengan mujair* Tujuan pertama adalah mengantarkan saudara sepupu pasangan yang tadi satu pesawat dengan kami ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, sambutan keluarga benar-benar di luar perkiraan saya. Ramah, ramai dan hangat seperti saya ini sudah lama dikenal oleh mereka. Yang buat saya terheran-heran adalah tak ada satupun yang bersuara pelan disana, semuanya memiliki suara keras...hehehehe...kalau di rumah saya, ada yang bersuara sekeras itu, pasti sudah dimarahi oleh ibu saya karena dianggap membentak. Telinga saya-pun harus terbiasa dengan suara-suara 8 oktaf itu:p 


Selesai mengantar saudara sepupu pasangan, kami pergi bakar lilin ke makam nenek dari pihak bapa. *bakar lilin=ziarah kubur* Alih-alih bunga tabur seperti lazimnya di Jawa, kami menggunakan lilin yang ditaruh di sekeliling makam atau di kepala nisan. Saya sempat shock ketika mengetahui tradisi di sana tentang makam, yaitu keluarga dimakamkan di halaman rumah. Jadi hampir setiap halaman rumah, pasti ada makam leluhur tapi tentu saja itu jika rumahnya di kampung. Bahkan menurut pasangan saya, ada yang menaruh makam anaknya di kamar tidur untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap sang anak. Takut? Pasti! Tapi itu hanya awal-awal saja karena lama-lama makam jadi pemandangan biasa dan mereka mendekorasi makam sedemikian rupa sehingga kesan angker-pun nyaris tidak ada. Aaarrrghhh...tapi saya tak berani membayangkan jika makam itu masih baru, pasti saya tidak akan berani tidur sendirian. Untungnya besok kalau saya harus kembali kesana, saya tak perlu lagi tidur sendirian:p


Bicara tentang leluhur, keterikatan orang Flores terhadap leluhur sangatlah kuat. Buktinya adalah makam leluhur yang terletak di halaman rumah. Kecintaan terhadap keluarga, penghormatan terhadap leluhur adalah hal yang mutlak disana. Malam pertama saya di rumah pasangan, saya dibuat ketakutan setengah mati karena tiba-tiba kakak perempuan yang tadi menjemput kami di bandara kerasukan arwah paman/om yang telah beberapa tahun berselang meninggal dunia. Seumur hidup saya, baru kali ini saya melihat orang kesurupan dengan cara yang seperti dialami oleh kakak perempuan. Dulu waktu kuliah, ada seorang adik kelas yang kesurupan dan sangat menakutkan karena dia disusupi oleh arwah jahat penunggu gedung kampus. Itu adalah pengalaman pertama saya bersentuhan dengan dunia lain. Dan kemarin di Flores, saya mengalami hal yang benar-benar di luar jangkauan akal sehat saya namun benar-benar terjadi. Semasa hidupnya, om memang terkenal sangat sayang pada kakak perempuan itu sehingga itu pula sebabnya om memilih raga kakak perempuan sebagai media untuk berkomunikasi dengan orang-orang terkasih yang ditinggalkannya. Jauh dari kesan menakutkan, om sangat ramah ketika 'kembali' ke tengah-tengah keluarga. Ia memberikan wejangan, nasehat, mengenang masa lalu, bahkan memberikan nomer togel dengan gaya seakan-akan dia memang masih hidup. Alih-alih suasana mencekam, peristiwa kerasukan itu malah menjadi ajang reuni keluarga dan penuh canda tawa. Saya tak tahu persis apa yang dikatakan om karena sebagian besar disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah, tapi saya sempat berkenalan dengannya. Sebuah peristiwa yang tak akan terlupakan sepanjang hidup saya. Om tak hanya datang sekali, tapi sekitar 4-5 kali selama saya berkunjung kesana dan setiap kali datang, om akan bertahan sekitar 2-3 jam. Om dapat mengungkapkan kembali apa yang kami bicarakan dan apa yang kami rencanakan dengan tepat dan buat saya itu benar-benar menakjubkan.Satu hal yang buat saya penasaran adalah apakah Om dapat membaca apa yang kami pikirkan tapi tak terkatakan? Menurut pasangan saya sih itu tak dapat dilakukan tapi siapa yang tahu ? Suatu saat ketika saya sudah kembali ke Jakarta, Om datang dan dapat mengungkapkan kegalauan hati saya dan pasangan tentang sesuatu hal. Yang buat saya surprise adalah topik yang buat kami galau itu, kami bicarakan melalui YM. Jadi apakah Om bisa baca YM juga ? 
Beberapa kali kedatangan Om, kesan yang saya tangkap adalah penuh dengan suasana mistis dan menegangkan karena mungkin ada masalah yang sedang dihadapi oleh keluarga besar berkaitan dengan ilmu-ilmu hitam tapi entahlah...itu hanya pengamatan saya sebagai orang awam saja. Namun reaksi pasangan saya, tak urung juga sempat menciutkan nyali saya...membuat bulu kuduk merinding namun saya pendam saja, berpura-pura tak takut. hehehehehe... Mudah-mudahan kalau saya betul-betul tinggal disana, hal-hal seperti itu tak akan terjadi...Amin!


 Salah satu makam keluarga (Om pastor) yang kami kunjungi di Seminari Rita Piret

-to be continued to part 2...

Jumat, 01 April 2011

Man Jadda Wajadda

Beberapa waktu yang lalu saya membeli buku 5 Menara karangan A. Fuadi di Kompas Gramedia Book Fair. Sudah tertarik dengan buku ini lama, tapi baru kesampaian membelinya kemarin karena ada diskon besar. *gak mau rugi.com* Buku ini berkisah tentang perjuangan seorang bocah Padang bernama Alif Fikri dalam menamatkan pendidikannya di Pondok Madani (PM)-sebuah pondok pesantren modern di Ponorogo. Menimba ilmu di PM bukanlah cita-citanya karena bagi anak-anak usianya masuk pondok pesantren sama sekali tidaklah keren, namun karena desakan orang tuanya dan demi baktinya kepada ayah-ibu, maka ia dengan setengah hati masuk ke PM. Namun, ternyata pendidikan di PM jauh dari bayangan Alif. Disana ia dididik dengan keras oleh para kyai dengan dibekali slogan-slogan yang bertujuan untuk menuntun langkah agar tampil menjadi orang yang sukses, salah satunya adalah Man Jadda Wajadda yang artinya siapa yang berusaha sungguh-sungguh maka akan memperoleh kesuksesan. 

Yes, I'm totally agree with that! Man Jadda Wajadda terasa enak di dengar di telinga, tapi pelaksanaannya tak pernah seindah kata-katanya. Siapa yang dalam episode kehidupannya tak pernah merasakan yang namanya putus asa ? Saya rasa tak ada satu orang-pun yang tak pernah menyerah ketika menjalani hidup di dunia yang penuh kompleksitas ini. Ok...mungkin tidak menyerah sepenuhnya dan berhenti berusaha, tapi pernahkah Anda mengatakan pada diri sendiri..."Ah malam ini cukup belajarnya, besok kan masih ada waktu" atau "Aku sudah ngantuk, besok saja aku teruskan tugas ini". Saya sering sekali mengucapkan itu dan benar-benar melakukannya ketika fisik sudah lelah dan semangat kendor karena buntu pikiran. Dan, jika begini maka bisa dibilang saya telah gagal menerapkan Man Jadda Wajadda. Menurut Kyai Rais, pimpinan PM dalam novel 5 Menara, Man Jadda Wajadda berarti going extra miles-berusaha di atas rata-rata orang lain. Rasa kantuk itu wajar apalagi jika kita sudah menguras energi habis-habisan, namun apakah kita harus menyerah pada rasa kantuk dan menyia-nyiakan kesempatan dan waktu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih ? Kenapa kita sering mudah menyerah pada batasan-batasan fisik ketika sedang berjuang untuk meraih sesuatu ? Kalau iya, berarti kita kurang berusaha sungguh-sungguh sehingga ganjaran sukses-pun akan tertunda datangnya. 

Semasa kuliah, saya ikut kegiatan pecinta alam. Slogan yang diteriakkan di organisasi itu tentu saja bukan Man Jadda Wajadda seperti di PM, namun memiliki esensi yang kurang lebih sama : Never Give Up! Menolak untuk menyerah! Saya ingat mengikuti kegiatan pendakian gunung tahun 2000 di Merbabu. Itu adalah pengalaman naik gunung pertama saya dan tentu saja saya diliputi perasaan takut sekaligus penasaran untuk mencapai puncaknya. Naik gunung memang tak pernah mudah-sudah capek capek naik, harus turun lagi dan di puncak cuma sebentar sekali. Malam pendakian, saya muntah-muntah di tengah jalur pendakian karena campuran masuk angin dan grogi. Namun, teman-teman senior tidak membiarkan saya terkapar di setengah perjalanan itu. Mereka menemani saya dengan setia sambil memompa semangat saya untuk terus berjuang...Never Give Up! Langkah demi langkah kecil saya jejakkan di punggung Merbabu. Setiap kali saya merasa lelah, mereka akan terus menyoraki saya untuk mencoba sedikit lebih tinggi lagi...lagi dan lagi...hingga akhirnya...huray! Saya mencapai puncak Merbabu. Saya menangis terharu ketika tiba di puncaknya. Hari telah terang tanah, saya kehilangan momen sunrise tapi itu tetap perjuangan terindah saya. Bayangkan jika saya tak pernah mencoba lagi dan lagi, maka saya tak akan pernah sampai puncak Merbabu dan saya akan dikejar mimpi penasaran di kemudian hari dan kehilangan uang bantingan tanpa mendapatkan apa-apa. 

Man Jadda Wajadda...siapa yang bersungguh-sungguh akan memperoleh kesuksesan maka berusahalah di atas rata-rata orang lain-going extra miles!
Never Give Up...Menolak untuk menyerah, maka jika merasa sudah lelah, teruslah mencoba sedikit lagi...lagi dan lagi hingga akhirnya mencapai garis finish atau kesuksesan...!

Rabu, 16 Maret 2011

Three years ago


Sejak saya kecil, saya bercita-cita ingin bekerja di pedalaman Papua-dulu namanya masih Irian Jaya. Sebuah artikel kecil di majalah Kartini tentang seorang dokter perempuan dari Jawa yang dengan penuh semangat pengabdian mengorbankan masa mudanya melayani masyarakat di pedalaman Papua telah menggugah minat saya dan dalam hati kecil saya selalu terucap..."Saya harus seperti dia jika besar nanti, bekerja di Irian Jaya". Dan, rupanya keinginan yang terucap terus menerus dalam hati itu-pun mendapatkan kesempatan untuk terwujud. 

Tiga tahun yang lalu ketika saya masih bekerja di sebuah perusahaan media, saya mendapat telpon dari HR Manager PT. M****Papua dan meminta saya untuk datang interview. Wow...saya tak merasa melamar kesana tapi kenapa saya dipanggil? Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya. Sambil mencuri-curi waktu ketika mengurus vendor training, saya datang untuk memenuhi panggilan interview tersebut. *maaf mas ogie dan mas chaly...saya mencuri waktunya-membuat pengakuan* Perusahaan yang saya tahu persis adalah perusahaan besar dan terkenal cukup menggetarkan hati saya ketika datang ke kantornya untuk pertama kali dan saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa saya layak untuk mendapat panggilan disana. Bertemu dengan HR Manager yang ternyata adalah seorang ibu yang sangat gesit, tegas dan percaya diri membuat saya minder sesaat. Namun, lama kelamaan minat saya yang besar akan Papua perlahan-lahan mengikis rasa minder saya dan berganti menjadi rasa percaya diri bahwa saya mampu menjawab tantangan yang dilontarkan oleh ibu HR Manager tersebut. Bahkan ketika direktur Finance dan SDM memberikan pertanyaan kepada saya, lebih suka bekerja di Jakarta atau Papua? Saya jawab dengan mantap tanpa keraguan...Papua! Hehehe...mungkin jawaban itulah yang akhirnya membuat saya tidak melalui proses panjang untuk diterima sebagai karyawan. *belakangan saya heran pada diri saya sendiri kenapa bisa seyakin itu dalam menjawab. hehehe...* Bahkan saya-pun melanggar ketentuan perusahaan untuk proses mengundurkan diri satu bulan sebelumnya karena saya sudah tak sabar ingin segera ke Papua. Di kemudian hari, saya menyesali tindakan konyol saya itu (tidak melalui proses one month notice-red.) karena saya merasa melukai hati mantan boss saya yang telah memberikan banyak ilmu untuk saya. Mereka memang tak berkata-kata tapi pesta perpisahan yang dilakukannya ketika saya pergi membuat saya mengerti bahwa mereka menghargai saya dan menyayangi saya. Ikatan emosi yang kuat tak pelak membuat saya merasa berat juga meninggalkan perusahaan lama, tapi apa boleh buat...impian masa kecil di depan mata, tak bisa lagi ditunda untuk terwujud. Saya nyaris menangis ketika mengucapkan kata-kata resign kepada boss saya dan dia benar-benar terkejut karena saya tak menunjukkan tanda-tanda akan hengkang dari situ. Tatapan matanya dan nasehat yang meluncur dari mulutnya benar-benar mengoyak pertahanan batin saya. Satu yang saya ingat dari pesannya, yaitu setiap kali saya merasa ragu, saya harus bertanya pada diri saya sendiri..."What are you looking for?" Dan, it works! Setiap kali saya merasa putus asa dan ingin menyerah ketika berada di Papua, saya langsung teringat pada kata-kata itu. Kata-kata itu bak mantra ajaib yang akan selalu mengembalikan saya ke jalan mimpi saya, memastikan agar saya tak melenceng dari jalur. 

Tanggal 10 Maret 2008, saya resmi bergabung dengan PT. M****Papua dan ditempatkan di Merauke. Pertama kali masuk, saya terkejut bukan main karena ternyata perusahaan ini baru berdiri dan saya-pun termasuk karyawan pioneer. Nomer Induk Karyawan saya-pun masih berbilang puluhan, yaitu no 34. Wedeh...saya salah tangkap rupanya ketika interview. Merasa dibohongi ? Sedikit! Tapi kaki sudah melangkah dan tak bisa menekan tombol backspace, sehingga hambatan harus dilihat sebagai tantangan. Saya ikut menghadiri presentasi para kontraktor yang akan membangun di site Buepe, Merauke tempat perusahaan saya akan beroperasi nantinya dan surprise...ternyata tempatnya masih berupa hutan belantara...belum dibuka sama sekali. Duh! Dan semenjak surprise pertama itu, kejutan demi kejutan lainnya saya terima. Awalnya saya memang sempat pesimis dapat menjalani itu semua karena saya tidak punya pengalaman sebagai HR di site yang notabene akan lebih banyak bersinggungan dengan urusan administrasi dan hubungan industrial. Tapi perlahan lahan saya-pun mulai menemukan kenikmatan bekerja disana. Setiap hari adalah tantangan baru! Teman-teman datang silih berganti, ada yang bertahan *rombongan pertama hanya menyisakan 5 orang termasuk saya*, ada yang tak bisa pergi jauh dari keluarganya dan ada juga yang terlalu takut untuk menjalani kerasnya kehidupan di tanah Papua sehingga hanya bertahan tak lebih dari seminggu kemudian pulang kembali ke Jawa. Jauh dari keluarga membuat teman-teman seperjuangan menjadi keluarga. Saya menemukan sahabat, keluarga baru, bahkan pacar (:p) dan saya sangat bersyukur bahwa saya diberikan kesempatan untuk merasakan itu semua. Saya juga dapat banyak pengalaman yang tak mungkin saya dapatkan ketika saya memilih tetap bekerja di tempat lama, yaitu berkonflik dengan masyarakat lokal, diancam, didemo karyawan, sampai dengan perubahan management dan politik kantor. Pengalaman-pengalaman yang benar-benar menempa saya untuk semakin kuat dan dewasa...

Tiga tahun sudah saya berada di Papua dan saya masih ingin kembali kesana...membangun tanah Papua dengan kemampuan yang saya miliki...karena itulah mimpi saya!

Happy 3rd anniversary for me...Never Give Up!:p
March 10, 2008 - March 10, 2011

Selasa, 08 Maret 2011

Between Me and Him

Beberapa hari ini hati saya berbunga-bunga, melayang ke taman firdaus. Saya tahu persis apa penyebabnya, namun tak bisa mengungkapkannya. Mengapa ? Karena saya memiliki complicated feeling. Dan karenanya, saya bagaikan makan buah simalakama. Jika saya ungkapkan, maka satu pihak akan tersakiti untuk kedua kalinya. Jika saya tak ungkapkan, berarti saya membohongi apa kata hati saya. 

Saya tak terlalu berani mengambil resiko kali ini karena saya tak mau lagi terjebak dalam kisah yang semu dan mendatangkan sengsara berkepanjangan seperti yang sudah-sudah. Saya ingin matang dalam mengambil keputusan dan tak ingin membuat banyak hati terluka. Saya tak tahu bagaimana prosesnya sehingga saya seperti terlempar ke taman Firdaus sekarang ini dan merasakan gejolak gairah hidup bak remaja belasan tahun, namun semuanya berawal dari sebuah sapaan hangat yang masuk dalam ruang dengar saya dan kemudian menyentuh hati saya yang sedang dalam keadaan beku. Tak ada rayuan gombal setinggi langit, hanya obrolan-obrolan ringan tentang sebuah perjalanan ke tempat impian saya, tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang impian, dan lain sebagainya. Namun rupanya obrolan-obrolan itu akhirnya jadi semacam candu dalam hidup saya dan dirinya. Rasa rindu mulai menggelitik hati saya dan dirinya sehingga waktu dirasa tak pernah cukup untuk memuaskan keinginan kami untuk bercerita, saling menyapa dan berbagi tentang hidup.  

Meskipun kami jadi akrab, namun sangat terasa masih ada jarak antara saya dan dirinya. Saya tak berani terlalu dekat karena kaki saya masih terikat pada sebuah hubungan masa lalu yang tak lagi berbentuk. Sedangkan dirinya mencoba untuk menahan diri agar tidak terlalu agresif dan mencoba menemukan moment yang pas untuk benar-benar terbuka. Lidah dapat dibuat kelu, dan tangan dapat diikat untuk menjaga agar semuanya tak melewati batas yang seharusnya, tapi hati tak pernah bisa ditipu. Meskipun ada jarak antara saya dan dirinya, namun hati saya dan dirinya semakin mendekat. Saya dapat merasakannya. 

Entah kapan hati saya dan dirinya akan benar-benar bersatu dan diikuti oleh bagian raga yang lain. Mungkin waktu itu akan datang sebentar lagi atau mungkin juga tak akan datang. Semuanya tergantung dari keberanian kami masing-masing keluar dari ikatan yang membelenggu dan apakah Tuhan berkenan memberikan diri saya sebagai jodoh untuknya atau dirinya sebagai jodoh untuk saya.
Antara saya dan dirinya sekarang ini tercipta jarak tak kasat mata, dan hanya Tuhan-lah yang dapat menentukan apakah jarak tersebut akan semakin lebar ataukah menjadi tak berjarak lagi. Tapi saya berharap, ketika Tuhan memberikan keputusanNya, tak akan ada hati yang terluka, apapun hasilnya. 





Senin, 07 Maret 2011

Mimpi dan Flores

Sudah lama saya tak merasa bergairah seperti sekarang. Bergairah...bernafsu...bersemangat..! Apa gerangan yang membuat jiwa saya serasa berdenyut-denyut dan bak lampu petromaks yang terus dipompa sehingga nyalanya berpendar-pendar setara lampu 12 watt ? Tak lain tak bukan adalah karena saya punya mimpi, saya sedang punya keinginan yang telah lama terpendam dan akan terpenuhi dalam waktu dekat *tentu saja jika Tuhan mengijinkan-manusia boleh berencana, tapi Tuhan juga yang menentukan* Saya hanya tinggal menghitung hari hingga mimpi 7 tahun lalu akan menjadi kenyataan.


Mimpi saya berawal dari pencarian tempat eksplorasi untuk melakukan ekspedisi kecil-kecilan yang melibatkan seluruh divisi di Palapsi. Waktu itu sedang booming KKN Tematik, yaitu sebuah program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa secara bebas dan program itu akan dihitung sebagai kredit point KKN 3 sks. Sebuah program yang menyenangkan karena mahasiswa diperkenankan untuk merancang sendiri program pengabdiannya, beda dengan KKN reguler yang hanya mengikuti pola yang telah dirancang oleh universitas. PALMAE, kelompok mahasiswa pecinta alam dari fakultas ekonomi berhasil melakukan KKN tematik itu di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kebetulan waktu itu, saya kenal dengan beberapa penggiatnya dan tertarik untuk melakukan program serupa dengan membonceng kegiatan ekspedisi kecil-kecilan yang sedang digagas oleh Palapsi. Saya-pun menggali dari teman-teman PALMAE tentang Manggarai dan cerita mereka tentang kearifan budaya disana sekonyong-konyong membuat saya jatuh cinta pada Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur *eksotisme Manggarai serasa cocok dengan gairah idealisme saya tentang ecotourism yang menjadi minat besar saya saat itu*. Saya-pun mengusulkan pada tim kecil untuk melakukan kegiatan Litbang disana, melanjutkan apa yang telah dirintis PALMAE dan mendaftarkannya sebagai KKN tematik. Usul saya memang didengar karena kebetulan saya menjabat sebagai Kadiv Litbang saat itu dan termasuk salah satu yang berkewajiban untuk mencari tempat bagi tim saya untuk berekspedisi, namun saya rupanya terlalu naif dan lupa bahwa setiap organisasi punya 'gengsi'nya masing-masing. Kami adalah organisasi yang terkenal karena kreatifitas dan kegigihannya, masa iya akan mengikuti jejak organisasi lain atau istilah kasarnya adalah 'membeo', apalagi kami dilahirkan lebih dulu. Jadi, selain karena faktor tersebut dan faktor lainnya, Manggarai dicoret dari daftar tujuan ekspedisi. Saya legowo dan akhirnya memang saya mendapatkan pengalaman yang tak kalah serunya saat itu dan memberikan bekas yang mendalam dalam hati saya, yaitu keramahan penduduk Selo, Merapi. 


Meskipun gagal ke Manggarai, namun tempat itu tak pernah saya lupakan. Dalam relung hati saya yang paling dalam, saya telah bertekad bahwa suatu saat saya akan kesana. Saya terlanjur jatuh cinta pada cerita teman-teman dari PALMAE tentang eksotisme Manggarai. Nah...ternyata Tuhan menjawab mimpi saya itu, meskipun tak persis sama dengan yang saya inginkan. Ketika bekerja di Merauke, saya bertemu dengan seorang teman dari Flores. Saya-pun menceritakan keinginan saya yang terpendam itu bahwa saya ingin berkunjung ke Manggarai. Ia-pun sangat antusias menjawab keinginan saya, meskipun ia tak berasal dari Manggarai. Ia mengajak saya ke kampung halamannya, Maumere. Hmm...siapa juga yang bisa menolak rejeki ? Perjalanan kami rencanakan di tahun 2010, namun karena kesibukan masing-masing dan jarak ruang sosial yang tercipta di antara kami, perjalanan itu gagal. 


Berbagai peristiwa menerpa saya dan saya sempat lupa dengan mimpi saya itu hingga suatu hari teman dari Flores itu-pun kembali memasuki ruang sosial saya. Seorang teman yang dengan caranya telah berhasil menyentuh hati saya yang terluka, seorang teman yang mengucapkan suatu pengakuan yang menggetarkan hati saya, seorang teman yang tak pernah lupa pada janjinya untuk membawakan mimpi pada saya mengunjungi tanah Flores, dan seorang teman yang saya harap nantinya bisa lebih dari sekedar teman jika Tuhan mengijinkan-ups!. Dan melaluinya, mimpi saya 7 tahun lalu-pun akan terwujud sebentar lagi. Bulan April adalah bulan yang dijanjikannya untuk mengajak saya mengunjungi tanah kelahirannya. Saya begitu bersemangat melakukan perjalanan itu. Bukan hanya karena saya akan menggenapi mimpi saya, tapi juga karena saya sudah lama tak melakukan perjalanan yang penuh tantangan seperti itu. Perjalanan terakhir saya adalah ke Lampung bersama dengan teman-teman yang baru saya kenal lewat milis 1 tahun yang lalu. Sebuah perjalanan yang mengasyikkan dan saya menyukai perasaan yang timbul saat perjalanan itu...adrenalin saya terpompa hingga level optimal.


Saya masih belum tahu apakah perjalanan besok akan terlaksana atau tidak, akan semenarik perjalanan ke Lampung atau tidak, namun yang jelas saya sudah cukup bersemangat dengan hanya memikirkannya saja. Saya akan berangkat tanggal 19 April agar dapat merayakan Paskah disana yang konon katanya meriah. Saking antusiasnya, saya baru sadar bahwa sebenarnya itu adalah tanggal yang mustahil bagi saya karena tanggal itu adalah masa tutup buku untuk perhitungan payroll yang menjadi tanggung jawab saya. Tapi Flores sudah di depan mata...haruskah saya sia-siakan lagi kesempatan mewujudkan mimpi saya itu? Tas ransel sudah saya siapkan, dana untuk perjalanan telah saya sisihkan...haruskah saya menunda lagi?


Terimakasih untuk mas Haryo dan Ipunk Palmae yang telah menularkan mimpi tentang Manggarai...
Thanks to special friend who will take me to Flores. Without you, I can't reach my dream...

Minggu, 06 Maret 2011

Complicated Feeling

Saya tak tahu bagaimana awalnya namun sekarang saya jadi dibuat bingung oleh perasaan saya sendiri. Saya tak tahu bagaimana menjelaskan dengan kata-kata apa yang saya rasakan saat ini. Saya tak tahu apakah apa yang saya rasakan itu benar ataukah salah. Saya tak tahu apakah yang saya rasakan saat ini akan bertahan lama ataukah hanya karena rasa euforia dan kesepian saja. 
Apapun itu, saya hanya ingin menikmatinya karena perasaan yang saya rasakan sekarang mampu membangkitkan saya dari keterpurukan, mampu membangkitkan kembali energi saya sedikit demi sedikit.

Namun, saya tak mampu mengekspresikan rasa saya itu dengan terbuka karena saya terikat pada sesuatu yang sebenarnya sudah tak jelas lagi bentuknya. Tak jelas bentuknya tapi tak dapat dilepaskan karena saya berhutang banyak pada bentuk yang kadang nyata kadang samar itu. 

Rupanya saya memang tak bisa lepas dari sebuah rasa yang complicated. Apakah ini menjadi kutukan buat saya, tak bisa menjalani sebuah rasa yang bentuknya sederhana saja ? Hanya waktu yang bisa menjawabnya...akan berakhir seperti apa perasaan saya sekarang ini...

Dedicated to both of you who cheers up my life...








 

Selasa, 01 Maret 2011

Kehilangan sedikit kewarasan

Saya mengalami beberapa episode tragis di tahun 2010 dan hal itu cukup membuat saya 'terpuruk'. Buat saya, cobaan di tahun 2010 kemarin adalah yang terberat yang pernah saya alami dimana salah satunya nyaris merenggut nyawa saya dari kehidupan yang indah ini. Namun, Tuhan masih memberikan kesempatan pada saya untuk memperbaiki hidup dan keluar dari lingkaran setan di tahun 2010. *kata seorang teman, tahun 2010 memang tahun yang berat untuk siapapun*

Lepas dari tahun 2010 yang penuh huru hara, saya memasuki tahun 2011 dengan rasa gamang. Bagaimana tidak ? Peristiwa traumatis yang saya alami masih segar dalam ingatan karena terjadi di penghujung tahun 2010 dan peristiwa itu merobek-robek rasa percaya diri saya, keberanian saya dan sedikit ketegaran saya. Buat orang-orang yang tak terlalu mengenal saya, mungkin hanya akan melihat secara kasat mata bahwa fisik saya mengalami penurunan. Namun, buat orang-orang yang dekat dan mengenal pribadi saya dengan baik, pasti akan dapat merasakan perubahan besar dalam diri saya. Tak dapat dipungkiri...sekuat apapun saya, peristiwa di penghujung tahun itu ternyata membawa dampak yang cukup nyata dalam perkembangan mental saya. Bukannya tak menyadari, namun kini-pun saya masih berusaha untuk menyembuhkan diri guna menjadi pribadi yang seutuhnya, kembali seperti dulu lagi...

Kewarasan saya sedikit hilang akibat peristiwa kelabu di penghujung tahun. Saya merasakan kehilangan beberapa kemampuan yang dulu sangat membantu saya untuk beraktifitas dan menjadi 'lebih' dari orang lain. Salah satu contohnya adalah memori. Saya memiliki ingatan yang bagus, namun sejak kejadian itu, saya seperti orang pikun. Lupa ini dan lupa itu. Dan, pengalaman paling gress adalah saya lupa password email untuk membuka blog ini. Sama sekali saya lupa...tak satupun abjad dari password itu yang melekat dalam ingatan saya, padahal saya cukup sering membukanya...Postingan saya yang terakhir-pun baru 1 bulan berselang. Saya mendadak menjadi khawatir bahwa ternyata dampak yang saya alami lebih besar daripada yang saya rasakan. Apakah sudah saatnya saya berkonsultasi pada seorang ahli untuk mengembalikan sedikit kewarasan saya yang telah terenggut paksa di penghujung tahun ? 

Bagaimana menurut Anda ?

Senin, 24 Januari 2011

Selamat Jalan Kawan!

Pagi hari ketika saya bangun tidur dan menengok FB, saya terkejut bukan main membaca wall seorang teman SMA. Seorang teman yang terkenal humoris, tulus, polos dan baik telah pergi selama-lamanya karena kecelakaan di daerah Jatiroto. Saya terpekur, bengong tak percaya ketika membaca berbagai ucapan belasungkawa di wall teman tersebut. Tak dapat dipungkiri, sedih menggelayut dalam ruang hati saya sepanjang pagi tadi. Saya memang tak kenal dekat dengan almarhum, tapi mengetahui sepak terjangnya selama hidup di dunia membuat saya merasa kehilangan yang amat sangat. Mengapa orang-orang yang baik selalu singgah sebentar di dunia ? 

Almarhum meninggalkan seorang istri dan seorang anak yang masih berusia 2 bulan. Ia mengalami kecelakaan ketika akan pulang ke Jember dari Probolinggo untuk menengok keluarganya tercinta. Saya tak tahu persis kecelakaan seperti apa yang menimpanya, namun saya berharap ia tak mengalami banyak rasa sakit ketika Tuhan akhirnya memutuskan bahwa dia telah cukup berkarya di dunia dan sudah saatnya bergabung bersamaNya karena tabungan kebaikannya telah mencukupi. Saya yakin bahwa orang sebaik dia pasti akan mendapat tempat yang indah di kerajaan Allah.

Kejadian ini juga mengingatkan saya akan peristiwa yang baru saja saya alami beberapa waktu yang lalu menjelang penghujung tahun 2010. Saya mengalami kecelakaan parah, namun Tuhan masih berkenan untuk memberikan kesempatan pada saya untuk meneruskan hidup. Unbelieveble! Saya yang lama meninggalkanNya untuk mengejar kesenangan pribadi ternyata masih disayang oleh Tuhan. Seorang teman berkata bahwa saya adalah orang yang keras dan Tuhan-pun menegur saya dengan cara yang keras juga. Terima kasih, Tuhan karena Engkau masih mempercayaiku untuk berkarya di dunia ini, masih memberiku kesempatan untuk menambah tabungan kebaikan...

Selamat Jalan, kawan! Meskipun engkau telah pergi, namun engkau akan selalu ada di hati kami! Teruslah berjalan menuju kedamaian abadi, tak usah kau cemaskan mereka yang kau tinggalkan di dunia ini karena kami akan menjaganya untukmu...

In memoriam : Mawan Budiyanto 'Ateng' (22 Januari 2011)