Kamis, 03 September 2009

Curhat si single di usia 28 (1)

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat telpon dari adik yang mengabarkan tentang pernikahan seorang tetangga. Adik saya yang gaya bicaranya berapi-api mampu membuat saya shock pada saat mendengar berita bahagia tersebut, apalagi dia menceritakan dengan nada lebay dot (.) com. Yang membuat saya kaget yaitu sang calon mempelai tak lain tak bukan adalah tetangga depan dan sebelah rumah. Pertama kali, adik saya membuka percakapan dengan memberikan sebuah pernyataan mengejutkan, "Spe..., si X mau nikah lho!" Dalam pikiran saya, langsung terbersit pikiran negatif, yaitu pernikahan itu terjadi karena MBA alias Married by Accident. Menurut saya, tak salah saya berpikiran begitu karena usia sang calon pengantin a.k.a tetangga depan rumah saya itu relatif masih muda, lebih muda dari adik saya yang tahun ini genap berusia 25 tahun. Tapi, ternyata pikiran saya salah...kata adik saya, si X menikah karena sudah waktunya menikah. Pertanyaan saya berikutnya...kok bisa ? *sambil menggeleng-gelengkan kepala dan melongo* Dan, jawaban adik saya adalah...karena cowoknya udah mapan. *semakin melongo* Hmm...baiklah...sekarang siapa lagi yang menikah ? Ternyata, si Y, tetangga sebelah rumah yang usianya juga masih muda. Karena adik saya menyampaikan beritanya dengan gaya yang lebih lebay dari sebelumnya, tak urung pikiran jelek MBA muncul lagi, dan...saya keliru lagi! Alasan si Y menikah juga sama dengan si X...karena calon suaminya sudah mapan sehingga sudah waktunya menikah.
Hmmm....jadi sekarang kalau cowoknya sudah mapan, harus segera menikah ya? *dan ukuran kemapanan itu yang seperti apa?* Sebuah alasan yang kurang kuat untuk mengakhiri masa lajang dan mengikatkan diri pada orang lain. Kemapanan memang salah satu faktor yang akan menyebabkan rumah tangga menjadi harmonis, tapi ada sekian banyak faktor lain yang juga menjadi penentu kelangsungan rumah tangga dan saya tidak yakin calon pasangan muda itu sudah memikirkannya. Bukti nyata bahwa kemapanan bukan satu-satunya faktor penentu kebahagiaan rumah tangga adalah banyak pasangan yang secara ekonomi sangat mapan, contohnya artis, akhirnya bercerai juga-bahkan ada yang dalam hitungan bulan saja. Menurut saya, salah satu faktor yang penting untuk menjalin rumah tangga bahagia adalah kedewasaan dan kematangan emosional. Bayangkan saja...mengatur emosi sendiri saja susah, apalagi harus dituntut untuk memahami emosi orang lain, belum lagi harus berkompromi dengan keinginan pasangan. Butuh tingkat kedewasaan yang tinggi untuk menjalani itu semua. Saya jadi ingat, salah satu dari tetangga saya itu, yaitu si X, tingkat ketergantungannya pada orang tua sangat tinggi karena ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang cukup protektif dan memanjakan. Bagaimana anak seperti itu dapat menjalani hidup rumah tangga, benar-benar tak terbayangkan oleh saya! Dulu semasa kuliah, saya dan teman-teman satu geng pernah membuat penelitian dengan tema kesiapan psikologis wanita-wanita muda suku Tengger untuk berumah tangga. Hasilnya, mereka ternyata memang sudah siap secara psikis untuk menikah meskipun masih dalam usia muda karena lingkungan-lah yang mendidik mereka seperti itu. Pendidikan cukup hanya sampai SD saja, selanjutnya wanita dididik untuk siap berumah tangga. Nah, jika di kota besar ? Saya tidak yakin bahwa keluarga-keluarga di kota besar saat ini mendidik anak-anaknya untuk siap menikah di usia muda karena perkembangan jaman yang pesat ikut menggeser nilai-nilai yang diajarkan dalam keluarga. Contohnya, adalah keluarga saya. Saya, kakak dan adik saya tidak diajarkan secara langsung maupun tidak langsung untuk siap membina rumah tangga tapi kami diajarkan untuk hidup mandiri, memiliki pendidikan tinggi sehingga mampu mencari penghasilan sendiri. Kesiapan berumah tangga atau menikah dipercayai akan terjadi secara otomatis sesuai dengan pertambahan usia. *tapi kok saya belum siap-siap juga ya di usia nyaris 30 ini?* Akhirnya, hanyalah doa yang bisa terucap untuk tetangga depan dan sebelah rumah bahwa mereka benar-benar siap untuk menikah dan menjalani semua problematikanya dengan sikap dewasa.

Tak lama berselang setelah adik menelpon, giliran ibu saya yang telepon. Beliau juga mengabarkan hal yang sama, tapi kali ini diberi tambahan bumbu-bumbu berupa testimoni tetangga, mirip dengan iklan-iklan produk kesehatan yang ada di televisi. Kata yang punya hajat, sama dengan yang disampaikan oleh adik saya tadi. Kata tetangga yang lain...mereka juga ingin menikahkan anaknya dengan segera. Kata ibu saya...jangan dulu, biar saja sekolah dulu. Kata tetangga yang lain...semoga ibu saya segera menyusul menikahkan anaknya 6 bulan lagi setelah pernikahan tetangga saya itu. Hmmm...it means tetangga berharap saya akan menyusul menikah 6 bulan lagi. Ibu saya berkomentar...ya mudah-mudahan ya, nduk. Ibu saya melontarkan harapannya secara tak langsung melalui cerita tetangga yang menikah agar saya cepat mengakhiri masa lajang saya. Dan, pernyataan-pernyataan tak langsung ini bukan hanya sekali saya dengar, tapi sudah cukup sering. *mungkin juga dialami oleh lajang-lajang yang lain* Saya hanya menjawabnya dengan tertawa ringan, karena saya tidak pernah bisa memberikan jawaban yang jitu.
Saya belum memiliki kesiapan psikologis untuk mengakhiri kesendirian saya, kelajangan saya. Saya masih menikmati kesendirian saya dan entah sejak kapan pikiran ini muncul...saya takut menjalani komitmen, saya takut menikah, saya takut terikat dan hidup diatur oleh orang lain, takut tak lagi bebas menjalani mimpi saya. Tapi, pikiran-pikiran itu tak mungkin saya sampaikan pada ibu saya kan ? Sampai detik ini, saat saya menulis blog ini, saya masih menemukan lebih banyak keunggulan menjadi single dibandingkan double.
Apa saja keuntungannya ? Tunggu tulisan berikutnya....