Minggu, 31 Oktober 2010

Sejumput kenangan untuk Merapi

Indonesia berduka. Dalam rentang waktu yang singkat, bencana datang bertubi-tubi mendera wajah indah Indonesia. Diawali dengan banjir Jakarta, kemudian disusul dengan tsunami Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi. Ada apa dengan Indonesia ? Tuhan memang pasti punya rencana yang indah dibalik semua peristiwa alam ini.

Tanpa ingin mengecilkan arti bencana di daerah lain, meletusnya Gunung Merapi menorehkan kesedihan tersendiri dalam lubuk hati saya. Saya dan seperti jutaan orang lain yang pernah tinggal di sekitar gunung Merapi, seperti Jogjakarta, Boyolali, dan Klaten pasti merasakan bencana ini sebagai kesedihan mendalam karena gunung Merapi telah memberikan kenangan tersendiri bagi masing-masing orang yang pernah tinggal di sekitar kakinya yang kokoh menopang tubuh yang sudah renta namun masih tetap aktif menggodok material bumi di perutnya. 

Saya pernah melakukan pendakian ke Gunung Merapi pada tahun 2001, 2002 dan 2003. Setiap pengalaman pendakian memberikan pengalaman tersendiri yang tak akan pernah saya lupakan. Pengalaman pertama pendakian Merapi saya adalah ketika ada even Pendakian Massal bersama PALAPSI. Saat itu, saya hanya sampai Pasar Bubrah saja. Tak kuat dan tak mau mendaki sampai puncaknya. Mendaki gunung bukanlah favorit saya. Pengalaman kedua bersama Merapi adalah ketika saya mengikuti even Pendakian Kartini dimana semua pendakinya adalah wanita, dilakukan pada hari Kartini tahun 2002. Persiapan yang kurang matang membuat kami hanya sampai di Pos 2 saja. Saya dan seorang sahabat terpisah dari rombongan yang lain karena kaki saya yang manja tak kuat mendaki dan kami terjebak dalam badai gunung. Tidur berhimpitan dalam tenda hingga esok menjelang dan gagallah pendakian ke puncak Merapi untuk kedua kalinya. Pendakian ketiga adalah yang paling berkesan dalam hidup saya karena akhirnya setelah 2 kali pendakian gagal, saya akhirnya bisa juga mencium bendera Palapsi di puncak Merapi. Saat itu kami hanya mendaki berdelapan saja. Rasanya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata ketika mampu berdiri di atas puncak Merapi sampai-sampai lupa bahwa harus melakukan perjalanan turun. Meskipun mendaki gunung sulit, tapi saya tak pernah menjumpai cerita yang menyeramkan tentang Merapi, seperti laiknya gunung-gunung lain. Merapi selalu ramah pada setiap pendatang yang ingin merasakan tubuhnya, menikmati keindahan sang Pencipta. 

Selain pendakian, saya sudah tak terhitung lagi berapa kali melakukan kegiatan-kegiatan bersenang-senang di lerengnya yang selalu sejuk dan menawarkan kedamaian, apalagi jika pagi menjelang. Kegiatan trekking, baik dalam rangka pendidikan maupun hanya sekedar iseng bersenang-senang nyaris saya lakukan 3-4 kali dalam setahun. Untuk kegiatan trekking, biasanya saya lakukan di daerah Kali Adem dan Bebeng. Titik yang selalu dikunjungi setiap tahun adalah titik 1330. Titik dimana hymne PALAPSI selalu berkumandang dan bendera dibentangkan untuk para pendatang baru PALAPSI. Tersesat, dikejar monyet hutan, dan kaki kram karena harus berhati-hati ketika menuruni lerengnya yang curam adalah pengalaman-pengalaman yang tak kan pernah hilang begitu mengingat Merapi. Merapi dari berbagai sisi selalu menawarkan pesonanya yang mampu membius setiap pengunjung. Ketenangan, kesejukan dan kedamaian adalah sebuah oase yang ditawarkan Merapi dan akan ditebus dengan harga berapapun oleh orang-orang yang sudah terpikat oleh pesonanya. Ketika memasuki lereng Merapi, segala penat dan lelah seperti luruh karena oksigen tak henti-hentinya membanjiri paru-paru. Mendengarkan suara celoteh burung, gemericik air dan merasakan sejuknya embun telah mengisi energi tubuh menjadi full. Sebuah baterai alami untuk tubuh yang lelah dan penat karena tuntutan hidup sehari-hari. 


Terima kasih Merapi...semoga batukmu kali ini cepat sembuh dan kembali menjadi tempat yang menimbulkan berbagai romansa dalam benak setiap orang yang menjadi pemujamu. I'm gonna miss u, Merapi!


-to be continued-

Minggu, 10 Oktober 2010

Mimpi yang tak terwujud

Dulu dan sampai sekarang saya punya mimpi yang terdalam, yaitu berjalan-jalan keliling dunia menyelami kearifan lokal. Namun seiring berjalannya waktu dan pertambahan usia, mimpi itu sepertinya harus saya lupakan. Saya masih ingat alasan saya menerima pekerjaan di negeri antah berantah seperti sekarang, jauh dari kampung halaman saya. Tujuannya cuma satu, yaitu punya uang banyak dan cuti terjadwal sehingga mimpi saya untuk jalan-jalan-pun akan terwujud. Namun pelaksanaan tak pernah seindah rencana. Waktu cuti yang terus mengalami revisi karena menyesuaikan dengan kondisi perusahaan membuat saya tak bisa merencanakan perjalanan dengan baik. Ditambah lagi tuntutan keluarga yang ingin bertemu dengan anaknya yang jarang pulang membuat saya tak bisa dengan bebas menggunakan waktu cuti saya sepenuhnya untuk jalan-jalan seperti impian saya semula. Dan kemudian, muncullah seseorang yang akan menjadi pasangan hidup saya. Hobby yang berbeda dan target hidup ke depan untuk segera menikah membuat mimpi saya-pun semakin menjauh dari kehidupan saya...semakin kabur...menghilang dan akhirnya hanya menjadi tiada. Sungguh tragis memang nasib mimpi saya. 

Untuk tetap mengingatkan saya bahwa saya punya mimpi menjadi traveller atau petualang, maka saya mengikuti milis backpacker. Dan saya semakin merana setiap kali membaca diskusi-diskusi di milis yang banyak mengulas tentang bagaimana cara melakukan perjalanan dengan murah ke berbagai belahan dunia. Saya iri berat pada penggiat milis tersebut bagaimana mereka punya segala sumber daya untuk jalan-jalan ke seluruh belahan dunia dengan berbagai tujuan. Mengapa saya tak bisa seperti mereka ? Pertanyaan itu terus menari-nari dalam benak saya dan membuat saya down karena rasanya mustahil bagi saya untuk mewujudkan mimpi tersebut apalagi dengan kondisi saya sekarang. 
Mungkin sebenarnya saya pernah punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut, tapi saya melewatkannya begitu saja. Saya seringkali takut untuk keluar dari zona nyaman saya demi mewujudkan mimpi saya. Saya yang terbiasa hidup penuh dengan perencanaan dan penuh pertimbangan terhadap perasaan orang lain tentu saja tak bisa meninggalkan segalanya demi sebuah perjalanan yang hanya bisa saya rasakan sendiri kenikmatannya. Saya bukanlah pengambil resiko, tak seperti Agustinus Wibowo. Dia berasal dari keluarga mapan dan hidupnya lurus-lurus saja hingga ia belajar di China dan melakukan perjalanan pertamanya ke Mongolia. Dari situlah ia kemudian memutuskan untuk menjadi traveller atau backpacker...meninggalkan segalanya demi keindahan dunia yang tak dapat dilihat oleh semua orang. Menghadapi bahaya dan kesengsaraan demi menyelami intisari kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Sungguh...saya tak seberani dia! Sakit dan sedih rasanya jika membaca perjalanan hidupnya. Saya sedih karena saya tak seberani dia yang dilahirkan di tahun yang sama dengan saya dan di daerah yang sama. Logikanya...dengan kapasitas yang sama dan kesempatan yang sama, harusnya saya bisa seperti dia tapi nyatanya saya tak pernah berani melepaskan genggaman saya pada sesuatu yang sudah pasti untuk melakukan ketidakpastian. Dan, mungkin inilah yang membuat mimpi saya tak akan pernah terwujud. Karena saya tak pernah punya keberanian itu, sekarang saya harus menanggung akibatnya dan belajar untuk merelakan mimpi saya pergi, dibawa angin entah kemana...! 
 

Minggu, 03 Oktober 2010

Privasi

Jamak terjadi ketika seseorang menjalin hubungan dengan lawan jenis terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masing-masing personalnya. Perubahan-perubahan tersebut umumnya lahir dari sebuah kompromi, tapi ada kalanya juga karena pemaksaan dari salah satu pihak kepada pihak yang lain. Perubahan tersebut biasanya terkait dengan kebiasaan, mulai dari kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kebutuhan mendasar, seperti jadwal makan, mandi hingga kebutuhan tersier, seperti belanja, aktualisasi diri di dunia maya, dll. Jika tadinya jadwal makan jam 7 maka ketika berpasangan mungkin saja jadwal makan bisa jam 8 karena harus makan bersama-sama. Jika tadinya bebas berbelanja kapan saja dan belanja apa saja, maka ketika berpasangan mungkin saja untuk membeli sesuatu harus minta ijin pada pasangannya. Dan, perubahan paling besar yang terjadi ketika berpasangan menurut saya adalah kompromi terhadap besaran personal space atau biasa disebut dengan privasi.

Ketika berpasangan, privasi masing-masing personal pasti akan berkurang karena tuntutan dari pasangan untuk mengetahui lebih jauh tentang kehidupan pasangannya. Dan besar kecilnya privasi yang harus di korbankan untuk menjadi 'milik berdua' berkorelasi dengan tingkat kepercayaan. Semakin tinggi tingkat kepercayaan terhadap pasangan, maka semakin sedikit privasi yang akan dikorbankan untuk dibuka. Tapi jika tingkat kepercayaan rendah, maka harus siap-siap membuka hampir semua privasi kepada pasangan. 
Jika pasangan terlalu posesif, maka ruang privasi akan semakin sempit lagi. HP tidak boleh disimpan sendiri, semua sms dan telpon yang masuk pasti akan melalui screening dari pasangan, semua password dan PIN tidak berlaku lagi. Hilanglah personal space yang kadang-kadang merupakan persinggahan terakhir dari seseorang agar tetap dapat mempertahankan kewarasannya di tengah dunia yang semakin gila. Dan sebenarnya keterbukaan semacam itu tak menjamin kebahagiaan hidup berpasangan. SMS, telpon ataupun email yang isinya biasa atau salah kirim bisa memicu pertengkaran hebat dan jika sudah begitu, maka hidup masing-masing akan tidak tenang lagi. Semuanya saling waspada dan tak bisa bebas berekspresi karena takut menyinggung pasangannya.

Jadi apa yang harus dilakukan ? Mulailah percaya pada pasangan Anda bahwa dia memang mencintai Anda. Berikanlah ruang untuk pasangan Anda bernapas dalam ruangannya sendiri, berikanlah kebebasan padanya untuk tetap memiliki dunianya sendiri agar dia dapat mencintai Anda dengan lebih optimal. Jika pasangan Anda senantiasa takut dan tak punya kebebasan bagaimana bisa Anda harapkan untuk mencintai Anda dengan optimal ? Pasangan Anda adalah ibarat pasir...semakin kuat digenggam, maka pasir akan lepas dari genggaman Anda.

Jumat, 01 Oktober 2010

Open your mind, Sir !

Bekerja di perusahaan yang sekarang sangatlah jauh berbeda iklimnya dengan perusahaan saya sebelumnya. Di perusahaan saya sebelumnya, yaitu perusahaan media terkemuka di Indonesia, iklim intelektualitas sangatlah terasa. Di setiap sudut ruangan selalu berhembus aroma diskusi dan begitu banyak kosakata yang terhambur dari para pekerjanya. Sementara di perusahaan yang sekarang, jangankan diskusi, kosakata yang dipakai-pun sangatlah terbatas pada pekerjaan sehari-hari dan bahasa pergaulan sehari-hari, tak bertambah pengetahuan. Kerinduan akan suasana diskusi-pun tak pelak hadir dalam hati saya setiap waktu. Dulu, saya bisa betah ngobrol panjang lebar dengan supervisor serta manager saya hingga tak terasa waktu berjam-jam terlewati begitu saja. Obrolan bisa mulai dari tentang konsep HRD, psikologi manusia, hingga bergosip tentang para pekerja di kantor. Salah satu keuntungan menjadi HRD adalah bisa membicarakan karyawan lain dengan bebas tanpa merasa bersalah, sedangkan jika departemen lain membicarakan kinerja karyawan lain di luar departemennya bisa dianggap bergosip. He he he... Eniwei, saya betul-betul rindu akan suasana sharing ide seperti dulu. Pengetahuan saya berkembang, sel-sel otak saya-pun dirangsang terus untuk selalu berpikir sehingga otak saya hidup...terasa berdenyut bergairah. Setiap orang punya idenya masing-masing dan bisa menyanggah serta mengkritik ide yang lain dengan bertanggung jawab. Saya paling sering kalah argumen dengan manager saya, dia memang pintar luar biasa. Dia punya berbagai macam sudut pandang sehingga sulit dikalahkan argumennya, tapi dia sedikit kewalahan jika harus berdebat dengan supervisor saya yang 'kutu buku'. Kata-kata indah dan cuplikan-cuplikan teori dari buku-buku tebal dan tokoh-tokoh terkenal-pun meluncur dengan indah dari mulut mereka berdua. It's amazing to hear that...! Perdebatan mereka ibarat dua ksatria yang tengah berperang namun senjatanya bukan pedang, melainkan kata-kata. Kalau sudah begitu, saya yang mengaku gemar membaca selalu tak pernah bisa mengutip atau bahkan mengingat dengan baik siapa membuahkan teori apa atau teori apa dibuat oleh siapa. Jika dibandingkan dengan mereka berdua, saya memang bagaikan bayi baru lahir. Alhasil dengan iklim yang seperti itu, berbagai ide dan konsep-pun lahir dengan mulus dan tak pernah mati. 

Namun keadaan ini berbeda 180 derajat dengan perusahaan saya sekarang. Boss saya adalah tipe pragmatis yang lebih suka menjadi tipe pelaksana daripada konseptor sehingga hanya membuka ruang yang sangat sedikit untuk diskusi panjang lebar. Jangankan ngobrol panjang lebar tentang sesuatu hal, diskusi melalui dunia maya-pun tak terfasilitasi. Alhasil, pengetahuan saya mandeg, saya tumbuh bak katak dalam tempurung. Saya tak tahu apa yang saya lakukan ini memang sudah benar atau masih salah karena saya tak pernah diberikan feed back ataupun kritik yang membangun dan juga tak ada kesempatan untuk membandingkan dengan katak-katak di luar tempurung. Saya seringkali jengkel bukan main kalau ingin mengawali diskusi dengan departemen lain atau sesama rekan kerja dalam tim langsung di-cut oleh atasan saya itu. Menurutnya, diskusi tak ada gunanya. Fiuh! Sungkan untuk mengakui bahwa diri sendiri tak mampu, diri sendiri tak tahu sehingga harus bertanya pada pihak lain, yang mungkin menyebabkan boss saya tak mau membuka ruang diskusi. Yang lebih menjengkelkan adalah boss saya seringkali menolak ide-ide besar untuk perubahan ke arah yang lebih baik jika dirasa itu merepotkan dan kadang kala resistensinya itu adalah sikap yang tak pantas ditunjukkan oleh seorang leader dari departemen yang dituntut untuk selalu dinamis seperti HRD. 

Saya selalu tertantang untuk melakukan segala sesuatu, termasuk bekerja di daerah remote area seperti sekarang. Tapi apa jadinya jika akhirnya sel otak saya mati karena tak pernah mendapatkan stimulus ? Akankah otak saya mati sia-sia di tengah hutan belantara ini ?
Dibutuhkan segera : TEMAN DISKUSI !!!!!