Senin, 27 Juli 2015

HR Series : Working With Heart

http://assets-a2.kompasiana.com/statics/crawl/5529500a6ea83465588b4567.jpeg?t=o&v=760



Bekerja di bidang HR itu sama seperti bekerja di bidang sales yang bertujuan untuk memuaskan pelanggan. Jika di sales, pelanggannya adalah end customer, maka pelanggan HR adalah karyawan dan managemen. Dan tantangan terbesar dari bekerja untuk memuaskan pelanggan adalah bekerja dengan penuh ketulusan, bukan hanya manis di bibir karena pelanggan dapat merasakan betul mana yang diberikan dengan penuh ketulusan, dan mana yang tidak.

Bicara tentang bekerja penuh ketulusan, saya punya satu cerita menarik tentang seorang rekan kerja di perusahaan di Papua. Ia adalah seorang dokter yang di hire perusahaan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawan dan masyarakat di sekitar area perusahaan yang letaknya terpencil. Diam diam saya kagum padanya karena dia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk bermakna bagi orang lain. Dia dibayar cukup besar oleh perusahaan tempat saya bekerja dan mendapatkan fasilitas lainnya yang cukup baik. Banyak orang jika menjadi dirinya akan cukup puas dengan apa yang sudah diraihnya karena dengan posisinya sebagai dokter perusahaan di daerah terpencil, sebenarnya tidak terlalu banyak kasus yang butuh penanganannya sehingga dia bisa bersikap santai. Namun alih-alih bersantai-santai, Ia memilih untuk mengerjakan hal-hal lain, yaitu terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Tindakan yang awalnya mendapatkan tatapan sinis dari rekan kerja lainnya karena itu bukan area pekerjaannya. Mengabaikan apa yang dibicarakan orang tentang dirinya, Ia tetap tekun menjalani apa yang diyakininya benar dan bahkan menarik orang-orang lain untuk terlibat dalam kegiatannya. Hasilnya? Ia menjadi dicintai oleh masyarakat di sekitar perusahaan dan dihormati oleh rekan-rekan kerja yang lain. Apakah itu hanya karena Ia tekun menjalani apa yang diyakininya benar? Tentu saja tidak. Ia melakukan pengabdian pada masyarakat dengan ketetapan hati bahwa Ia bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat dan ingin membuat masyarakat di daerah pedalaman sana mendapatkan hidup yang lebih baik, lebih sehat dan lebih pintar. Semua orang bisa merasakan ketulusan hatinya saat berinteraksi dengannya. Tak ada yang tidak mengenalnya dan tentu saja sampai bertahun-tahun kemudian, kebaikan hatinya tidak akan pernah dilupakan. Pendidikan bagi anak-anak, perilaku hidup bersih sehat bagi masyarakat, dan masih banyak lagi warisan yang dia tinggalkan untuk masyarakat yang dia cintai sejak pertama kali Ia menjejakkan kaki di sana.

Bekerja dengan penuh ketetapan hati dan tulus bisa dilakukan oleh siapa saja dan jika kita sudah melakukannya, maka kita sendiri yang biasanya akan terkejut dengan efek dari bekerja penuh ketulusan tersebut. Saya menyebutnya 'Bekerja dengan hati'. Beberapa hari yang lalu, saya tiba-tiba ditelpon oleh nomer tidak dikenal. Ternyata yang menelpon saya adalah bapak dari seorang karyawan yang sudah meninggal karena sakit di lokasi kerja saya 3 tahun lalu. Beliau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri dan percaya atau tidak, beliau tidak pernah absen untuk mengucapkan selamat hari raya. Hati saya langsung terasa disiram es ketika menerima telponnya. Saya merasa tidak melakukan banyak saat anaknya meninggal, namun mungkin apa yang saya lakukan saat itu dirasakan penuh makna oleh beliau. Saya jadi malu karena apa yang saya lakukan adalah memang bagian dari tugas saya sebagai seorang HR. Dan bapak tersebut mengingatkan saya bahwa meskipun itu adalah tugas saya sebagai seorang HR yang memang kodratnya adalah memberikan pelayanan terbaik bagi karyawan, namun jika dilakukan dengan penuh keterpaksaan, maka orang lain akan mudah melupakan apa yang sudah kita lakukan dan bahkan mungkin akan terasa menyakitkan bagi mereka. Dan sebaliknya, jika kita melakukannya dengan penuh ketulusan, maka orang lain akan merasakan dan mengenangnya dengan baik, dan hal itu memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk mereka.

Jadi siapapun Anda, apapun bidang pekerjaan Anda, bekerjalah dengan tulus dan dengan hati, maka segala kebaikan akan kembali kepada Anda.

*foto diambil dari http://assets-a2.kompasiana.com/statics/crawl/5529500a6ea83465588b4567.jpeg?t=o&v=760

Jumat, 01 Mei 2015

Travelling series: Semarang (Day 1)

Akhirnya saya melakukan perjalanan lagi setelah 6 bulan yang lalu ke pantai Ora, Maluku. Perjalanan kali ini di seputaran Jawa saja, yaitu ke Semarang. Dan perjalanan ini bukan tanpa tujuan seperti biasanya, tapi dalam rangka menghadiri pernikahan seorang kawan. Mumpung long weekend dan sudah lama nggak travelling sendiri, maka saya-pun bela belain untuk datang ke Semarang.

Untuk perjalanan berangkat, saya memilih moda transportasi kereta api karena:
1. Murah
2. Sudah 2 tahun saya tidak naik kereta api jarak jauh
Pilihan kereta apinya adalah KA Ekonomi Kertajaya dengan harga tiket 90.000 dari Stasiun Pasar Senen ke Semarang Poncol. Saya pilih kereta ini karena hanya kereta ekonomi ini saja yang masih tersisa saat saya mencari tiket ke Semarang 1 bulan yang lalu. Kereta api saat ini jadi moda transportasi primadona karena nyaman dan murah sehingga tidak heran jika tiketnya cepat ludes dalam waktu singkat, apalagi jika long weekend.
Saya berangkat dari rumah kakak di Pekayon, Bekasi pk. 11.00 karena takut KRL banyak tertahan dan terlambat tiba di Stasiun Senen. Untungnya perjalanan KRL lancar dan hanya menunggu lama di Stasiun Jatinegara. Saya tiba di Stasiun Senen pk. 12.45, masih cukup waktu untuk makan siang dan mencari bekal perjalanan. Tapi rencana tinggallah rencana, Stasiun Pasar Senen seperti pasar... Penuh dan tidak ada bangku kosong lagi di tempat tempat makan. Tak terbayangkan nanti waktu mudik lebaran, bagaimana wajah stasiun Pasar Senen...pasti seperti pasar malam hari pertama, penuh sesak!
Saya membeli bekal di 7eleven yang antriannya di kasir seperti ular sawah panjangnya. Setelah cukup mengganjal perut, saya masuk ke kereta api tepat pk. 13.30. Dan sial... AC kereta api mati sehingga rasanya seperti di sauna dalam kontainer. Fiuh! Untung petugas KA cukup sigap untuk lakukan perbaikan dan foila... Suhu 18 derajat mendinginkan gerbong.
Salute untuk PT. KAI, kereta Kertajaya ini berangkat tepat waktu, tidak kurang atau lebih semenitpun. Let's enjoy the trip!
Dan belum 15 menit kereta berjalan, pujian untuk PT. KAI terpaksa saya tarik kembali. AC kembali mati dan panas tak tertahankan karena gerbong tak memiliki jendela sama sekali. Penumpangpun saling berebutan berdiri di bordes karena sudah tidak tahan lagi. Dan tak satupun petugas yang nampak. Hanya satu petugas yang muncul untuk menawarkan bantal tidur dan ketika dikomplain, hanya menyampaikan bahwa kereta memang panas. Lho?! Jawaban menjengkelkan...untung akhirnya disambung dengan ralat ucapannya bahwa teknisi sedang memperbaiki beberapa AC di gerbong belakang. Haiyah... Apa ya sebelum berangkat tidak diperiksa dulu tho...
Dan ternyata siksaan di dalam kereta api belum selesai. Teknisi berhasil memperbaiki AC, namun di tengah perjalanan dari Tegal ke Pekalongan, AC kembali mati dan disusul kemudian dengan lampu. Sudah panas, gelap gulita pula. Katanya gensetnya bermasalah. Oalah... Ini kalau di tambang, sudah stop dioperasikan. Namun sayangnya ini bukan tambang, tapi transportasi umum. Sampai di Stasiun Pekalongan, penumpang banyak yang keluar kereta mencari udara segar dan berharap kereta diperbaiki. Tapi apa daya, baru 5 menit menikmati udara segar, pengumuman kereta akan berangkat terdengar diiringi permintaan maaf bahwa genset akan diperbaiki sambil jalan. Penumpang langsung kompak melontarkan kekecewaan. Dari ungkapan kekecewaan, terselip cerita tak enak tentang calo kereta api. Saya kira dengan sistem yang sekarang sudah sangat baik dari PT. KAI, calo ikutan hilang, namun ternyata mereka masih ada. Seorang ibu bercerita bahwa Ia harus membayar tiket seharga Rp. 275.000,- dari Jakarta ke Surabaya untuk naik kereta ini yang mana harga aslinya adalah Rp. 90.000. Bahkan katanya, ada yang jual sampai harga Rp.500.000. Ironi... Di tengah pemerintah berusaha menyediakan transportasi umum yang terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat, tetap saja ada oknum yang berusaha untuk bermain main dengan aturan demi kepentingan diri sendiri.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh penumpang, selain pasrah dengan keadaan... Panas, gelap... Benar benar seperti tinggal di dalam kontainer peti kemas berjalan. Genset baru bisa diperbaiki menjelang masuk Weleri, itupun dengan kondisi hidup mati. Untung saya cuma sampai Semarang, tak terbayangkan yang harus melanjutkan perjalanan sampai Surabaya Turi.

Kereta tiba tepat waktu di Stasiun Semarang Tawang, yaitu tepat pk. 21.50. Ketepatan waktu adalah salah satu hal baik yang terjadi sepanjang perjalanan ini. Sampai di Semarang, disambut dengan suara guntur yang menggelegar, tanda hujan lebat akan turun. Tanpa berpikir terlalu lama, saya langsung naik taksi Blue Bird yang sudah siap sedia mengangkut penumpang di depan pintu kedatangan stasiun. Jarak stasiun ke hotel Quest, tempat saya menginap di daerah Plampitan tidak terlalu jauh dan argo taksi menunjukkan angka Rp. 15.500, namun rupanya si Bapak Driver tidak memiliki kembalian sehingga saya terpaksa bayar Rp. 30.000. Pelajaran penting saat travelling adalah selalu sediakan uang pecahan saat bertransaksi! 
Sampai di hotel, teman saya dari Jogja sudah menunggu. Ia tiba 2 jam lebih cepat dengan menggunakan travel Joglo Semar dari Jogja ke Semarang seharga Rp. 80.000. Dan hal pertama kali yang saya lakukan begitu masuk kamar adalah mandi. Lupakan lapar dan ngantuk karena badan yang lengket dan gatal karena keringat bercucuran di kereta hanya punya 1 obat, yaitu mandi.
Setelah badan kembali bugar, otak saya-pun mulai bekerja normal. Sinyal pertama yang dikirimkan otak saya adalah saya lapar. Sasaran kuliner malam ini adalah Bakmi Jowo yang ada di dekat hotel. Diiringi hujan rintik rintik, saya dan teman berjalan kaki kurang lebih 150m untuk mendapatkan Bakmi Jowo Pak Bagong. Menu saya adalah seperti biasa, yaitu bihun rebus. Tebak berapa yang saya habiskan untuk makan malam hari pertama di Semarang? Rp. 26.000,-
Harga tersebut untuk bihun rebus, nasi goreng, 2 teh manis panas dan 2 krupuk. Di tengah tengah menikmati panasnya bihun rebus, tiba tiba hujan deras datang lagi. Terjebaklah kami di warung bakmi.
Hari sudah semakin malam dan mata rasanya tak bisa diajak kompromi lagi, sementara hujan tidak menunjukkan tanda tanda akan berhenti. Kami-pun memutuskan untuk naik becak kembali ke hotel meskipun jaraknya dekat sekali. Tanpa tawar menawar karena bapak penarik becak tak mau menyebutkan harga, dan akhirnya kami berikan Rp. 10.000 sebagai tanda terima kasih bersedia mengantarkan kami di tengah hujan. Mudah mudahan itu adalah harga yang pantas :)
Sampai di hotel, saya langsung jatuh tertidur karena kecapekan. See you tomorrow...

To be continued... Day 2 at Semarang...

Rabu, 11 Maret 2015

Life on street: Motor pengantin

Sejak saya kembali tinggal dan bekerja di daerah Bekasi dan Jakarta, saya terpaksa harus mengendarai sepeda motor untuk bepergian. Naik sepeda motor sebenarnya bukan pengalaman yang baru buat saya, apalagi dulu jaman masih kuliah, saya sering menjelajah berbagai pelosok pulau Jawa dengan menggunakan motor honda astrea prima milik ayah saya yang bandel sekali dalam segala medan dan cuaca. Pengalaman berkendara terjauh dan melelahkan saya adalah 4 jam nonstop dari Jogja ke Pacitan dengan jarak ratusan kilometer. Sampai di lokasi, tangan saya rasanya kebas dan tidak berhenti gemetar karena seringnya melewati jalan yang bergelombang.
Dan bagaimana pengalaman berkendara di daerah Bekasi dan Jakarta? Amazing! Menurut saya lebih melelahkan daripada Jogja-Pacitan karena saya naik motor tiap hari dengan jarak tempuh 34km pp. Jaraknya memang lebih pendek daripada Jogja Pacitan, namun konsentrasi yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut benar benar luar biasa, apalagi jika bertemu dengan musuh besar para pengguna kendaraan, yaitu macet dan banjir. Kepala saya biasanya akan langsung terasa nyeri setiap kali menemui dua hal di atas, apalagi di malam hari. Kombinasi antara rasa capek, mengantuk, jalanan macet, dan banjir benar benar menguji iman. Dan untuk meredakan ketegangan tersebut, saya akan mencoba untuk menuliskan apa yang saya lihat, rasakan, dan jalani selama perjalanan menggunakan motor sebagai media katarsis sekaligus sebagai media pembelajaran bagi kita semua dalam berperilaku di jalan, setidaknya bahan evaluasi untuk perilaku saya sendiri di jalan.

Perilaku yang menurut saya unik hari ini adalah pengendara motor yang beriringan seperti pengantin. Kenapa saya bilang seperti pengantin? Karena salah satu pengendara motor ini menumpangkan kaki kanannya bukan pada footstep motornya sendiri, tapi pada motor temannya sehingga jika dilihat, mereka ini seperti berjalan beriringan bergandengan bak pengantin. Entah apa alasannya melakukan hal tersebut, yang jelas saya tidak melihat adanya keanehan pada motor yang 'nebeng'. Ban tidak bocor, dan bensin tidak habis. Dan mereka berkendara di tengah tengah jalan dengan laju kecepatan sedang, tanpa merasa bersalah bahwa mereka menghambat laju kendaraan di belakangnya.

Hal unik kedua di jalan hari ini adalah mobil polisi yang lampu depannya mati sebelah. Lha gimana mau membuat pengguna jalan patuh aturan kalau yang menegakkan aturan juga melakukan hal yang sama, melanggar aturan. Kalau di tempat kerja saya, sebelum mengoperasikan kendaraan, wajib untuk melakukan pemeriksaan terhadap kondisi kendaraan, mulai dari kelengkapan kendaraan sampai fungsi dari masing-masing alat di dalam kendaraan tersebut. Jika ada yang tidak lengkap atau tidak berfungsi, maka kendaraan tidak boleh dioperasikan apapun alasannya karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain jika dipaksakan untuk dipakai. Apakah polisi tidak memiliki mekanisme pengecekan seperti itu ya?

Sudahkah anda mengecek kondisi kendaraan anda sebelum dioperasikan? 

Sabtu, 21 Februari 2015

Gadget

Ternyata sudah 1 tahun saya vakum dari dunia tulis menulis. Banyak hal yang terjadi selama 1 tahun dan saya tidak akan membuat banyak alasan kenapa saya vakum karena memang hanya ada 1 alasan kenapa saya tidak menulis di tahun 2014, yaitu saya malas. Alasan yang klasik dan saya ternyata gagal bangkit dari rasa malas itu. Tidak ada satupun tulisan yang saya hasilkan. Lalu mengapa sekarang saya tiba tiba terdorong untuk menulis lagi? Salah satu alasannya adalah karena saya membaca berita di detik.com hari ini bahwa penulis 'Fifty Shades of Grey', E.L James, menulis novel erotis yang populer itu menggunakan blackberry. Yup... menggunakan blackberry. Jadi begitu dia punya ide, langsung dituliskan di blackberry-nya yang kemudian baru didetailkan di Macbook-nya. Jadi terbayang dimanapun dan kapanpun dia mampu memaksimalkan penggunaan gadgetnya untuk hal yang produktif.
Hal inilah yang menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama. Saya punya 3 gadget dan penggunaannya akhir akhir ini tidak maksimal sama sekali padahal rasanya waktu saya lumayan cukup untuk membuat sesuatu yang produktif. Why not I'm trying to do something with my gadget? Dan daripada tidak ada sama sekali, maka muncullah tulisan ini.
Bicara tentang gadget, hari Rabu kemarin saya mengalami ke-apes-an a.k.a sial. Saya kehilangan blackberry yang sudah setia menemani saya selama 2 tahun. Bukan tipe yang bagus sih dan sudah sering hang tapi keselnya bukan main karena di situ berisi banyak informasi penting dan saya terbiasa menyimpan segala sesuatu di gadget itu karena bentuknya yang ringkas dan mudah dibawa kemana mana. Yang paling mengesalkan adalah saya kehilangan nomer kontak semua relasi. Kenapa blackberry saya bisa hilang? Karena saya ceroboh dengan mengeluarkan gadget di tengah keramaian dan kemudian menyimpannya sembarangan sehingga mengundang copet untuk mengambilnya. Ya... saya kecopetan di halte busway Slipi Palmerah. Dua hal yang spesial dari kejadian kecopetan itu adalah :
1. Daerah Slipi Palmerah sebenarnya di luar jalur saya pulang dari kantor ke rumah. Saya sampai di sana dan naik busway karena saya ke gereja Salvator di daerah petamburan untuk ikut misa Rabu Abu. Mungkin memang sudah waktunya BB itu berganti karena keinginan untuk misa di Salvator munculnya tiba tiba, padahal kalau dari segi jarak dan waktu, saya sebenarnya bisa misa di Kapel Atmajaya di seberang kantor. Saya tiba tiba punya kerinduan yang sangat untuk misa di Salvator dan rupanya itulah akhir dari perjalanan BB pin 29ece07d dengan saya. Mungkin saya disuruh beramal lebih di awal bulan puasa ini.
Sebenarnya saya sempat membuntuti orang yang saya duga pencopet, namun saya tidak cukup PD untuk menegurnya. Saya putuskan untuk mengikhlaskannya. Hitung hitung move on dari beberapa orang.
2. Special kedua adalah saya seperti mengalami dejavu ketika mengalami kehilangan BB ini. 3 tahun yang lalu ketika saya masih menjadi pegawai baru di PT. BUMA, BB saya ketinggalan di toilet dan hilanglah dalam sekejap. Saat itu saya baru bekerja 1 bulan. Dan sekarang saya kembali kehilangan BB saat baru 1 bulan kembali berkantor di Jakarta. Rasanya jadi seperti ritual yang harus saya jalani ketika berkantor di kantor pusat BUMA ini, tapi kok ya ritualnya nggak enak banget.

Silahkan delete contact saya dari daftar teman di BB anda dan jika masih berkenan berteman dengan saya, berikut pin baru saya 75D1420F.