Rabu, 27 Juli 2011

Orang lokal vs Orang bule

H3 : Mataram - Senggigi

Setelah terombang ambing di lautan selama kurang lebih 4 jam, akhirnya kapal fery-pun menyentuh daratan Lombok...here we come! Melihat kondisi pelabuhan Lembar, nyiut juga nyali karena tak terlihat satupun angkutan umum dan kondisi pelabuhannya-pun jauh dari bayangan. Dalam hati kecil, bersyukur juga memilih angkutan langsung ke Mataram dari Ubung. Sampai di terminal Mandalika, Mataram pk. 09.45. Lagi-lagi terminalnya jauh dari bayangan. Sepi, tak ada papan petunjuk sama sekali. Sambil sibuk menolak para calo angkutan dan tukang ojek, kami mengedarkan pandangan ke seluruh terminal mencari-cari petunjuk. Nihil! Akhirnya, kami memutuskan untuk cari info sambil makan karena kebetulan perut juga keroncongan. Duduk makan nasi balap dengan lauk sambal belut yang enak banget dan harganya-pun murah, yaitu Rp. 10.000. Iseng-iseng tanya pada ibu penjual tentang angkutan menuju Senggigi. Eh, jawaban si Ibu tidak mencerahkan tapi malah buat bingung karena si Ibu merangkap jadi calo juga, tepatnya calo ojek. Kata si ibu, kalau naik angkot warna kuning ke Senggigi bisa kena Rp. 150.000...tapi silahkan ditawar saja. Masalahnya kami tidak tahu berapa harga normalnya. Menurut info yang kami pegang, ke Senggigi bisa naik angkutan L300 dengan ongkos Rp. 5.000, tapi sejauh mata memandang tak tampak satupun benda bermotor yang menyerupai L300. Si ibu kemudian menawarkan sebuah solusi, yaitu naik ojek seharga Rp. 30.000. Fiuh! Mahal plus agak ngeri naik ojek di negeri orang-takut ada apa apa...*perasaan yang mungkin wajar dirasakan oleh perempuan ketika di tempat asing* Karena mengetahui kami asing di tempat itu dan tampak sekali kalau baru pertama kali ke Lombok, kami 'dikepung' oleh beberapa orang yang nampaknya tukang ojek. Mereka mencoba mengambil kesempatan untuk menawarkan jasa. Takut dan tak tahu harus berbuat apa...akhirnya dengan sedikit nekat, kami memutuskan cari angkutan di luar terminal karena tak sengaja saya melihat ada L300 di luar terminal. Jalan keluar terminal berharap lolos dari para calo, tapi ternyata harapan kami semu saja. Kami ditawari berbagai macam angkutan yang kami tak tahu mana yang benar. L300 ternyata tak ada yang langsung ke Senggigi! Duh...pemberi informasi di blog itu dapat info darimana sih...*geram dan gemas karena kami kurang survei awal* Akhirnya ada seorang Ibu yang baik hati menunjukkan satu angkutan menuju Senggigi, tapi memang harus ganti angkutan 2 kali. Pertama, kami naik angkutan dalam kota warna kuning sampai ke pasar kebonruik. Saya tidak tahu tarif pastinya berapa, saya berikan Rp. 10.000 untuk berdua, tak kembali dan si sopir mengucapkan terima kasih yang cukup berlebihan menurut saya. Hmm...nampaknya ongkosnya tak sampai segitu...tapi entahlah! Dalam angkot itu, kami bertemu seorang bapak petugas pengamanan (seperti satpol PP) yang menawarkan bantuan jika kami terlibat masalah selama di Senggigi karena katanya daerah itu kurang aman. Si bapak yang akhirnya kami tahu namanya Tajudin dapat ditemui di pos Amphibi di terminal Mandalika *serasa mendapatkan keluarga di tempat asing* Dari pasar kebonruik, kami pindah angkutan pedesaan ke arah Senggigi. Lagi-lagi kami dapat sopir angkutan yang baik tapi tetap tidak tahu ongkos yang pasti menuju Senggigi. Bapak Mahli, nama sopir angkudes itu, berjanji menunjukkan tempat penginapan yang murah meriah di Senggigi. Hmmm...si bapak rupanya bisa melihat kalau kami turis dengan dana cekak. Perjalanan ke Senggigi cukup jauh dan saya terus berhitung kira-kira berapa ongkosnya. Akhirnya, saya memberikan Rp. 30.000-harga yang cukup mahal mungkin tapi bagi saya itu adalah sebuah ungkapan terima kasih atas kebaikan di bapak di tengah kebingungan kami di tanah orang. Pak Mahli menepati janjinya, ia mengantarkan kami ke penginapan murah, yaitu Sonja-yang kata teman memang banyak direkomendasikan di antara backpacker. Masih banyak kamar kosong waktu kami datang jadi kami bebas memilih. Dengan harga Rp. 90.000/kamar, kami mendapatkan sebuah kamar mungil dengan fasilitas ranjang spring bed dengan kelambu plus kamar mandi dalam yang menggunakan korden alih alih daun pintu, kipas angin dan sarapan. Tak banyak tamu yang menginap karena bukan musim liburan. Kami langsung bergegas untuk bersih-bersih badan karena badan rasanya lengket dan kotor setelah 1,5 hari tak mandi dan di kereta kemarin udara sangat panas. Mandi kali ini benar-benar seperti anugerah di tengah teriknya matahari di bumi Lombok *lebay.com*  Setelah mandi, saya dan teman memutuskan untuk mencari makan karena perut rasanya lapar setelah petualangan mencari angkutan ke Senggigi. Tak banyak warung makan yang ok menurut kantong dan selera kami hingga akhirnya kami berakhir di warung nasi dekat penginapan. Saya minta oseng-oseng kikil dan ternyata si ibu memberikan tambahan beberapa lauk, yaitu ayam sambal, tahu, telur dadar dan orek tempe. Hmmm...apa itu memang paketnya warung nasi tersebut ya kok rasanya terlalu komplit tambahan lauknya. Saya sudah siap-siap membayar mahal ketika selesai makan, tapi ternyata 2 porsi nasi dengan lauk yang sangat komplit ditambah 2 teh botol dan 1 krupuk hanya Rp. 21.000. Murah sekali! Perburuan berikutnya adalah mencari motor sewaan untuk keliling Lombok karena angkutan menuju berbagai tempat wisata sangat sulit di dapat dan kantong kami tak cukup tebal untuk menggunakan jasa travel agent. Di sekitar penginapan, ada banyak sekali jasa persewaan motor/mobil, namun beberapa tutup karena sedang sholat Jumat. Kami berusaha mencari motor manual karena tidak PD dan tidak terbiasa menggunakan motor matic. Di salah satu tempat persewaan dekat warung nasi kami melihat ada beberapa motor manual yang diparkir jadi kami memutuskan untuk menyewa dari tempat tersebut. Tak ada penjaganya, hanya 3 anak kecil yang sedang bermain-main di gerainya. Ketika si anak bertanya pada si bapak di dalam rumah, ia bilang motor sewaan sudah habis. Hmmm...ok-lah kalau begitu! Kami pindah ke tempat sewa yang ada di samping penginapan. Si mas penjaga gerai kelihatan ragu-ragu ketika melihat kami. Dia bilang pada si boss yang entah ada di mana...dan inilah jawaban yang kami dapat, "Maaf, mbak...kita gak sewakan pada orang lokal. Boss bilang gak bisa!". He? Yah...menurut info, para penyedia jasa ini memang lebih percaya pada turis asing daripada turis domestik karena menurut mereka turis domestik banyak yang melarikan kendaraan sewaan mereka. Dan, sekarang kami merasakan sendiri diskriminasi yang terjadi karena ulah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Fiuh! Susahnya jadi pelancong di negeri sendiri padahal kami sama mampunya dengan para turis bule itu. Di terminal jadi sasaran calo, mau sewa kendaraan tidak dipercaya. Penolakan itu membuat darah sedikit naik ke ubun-ubun, apakah segitu parahnya kelakukan orang Indonesia sehingga akhirnya semua orang Indonesia di-cap 'jahat' oleh para penyedia jasa seperti mereka ataukah mereka yang terlalu lebay dalam menjaga properti mereka ? Yah...yang jelas kami adalah warga negara yang baik yang tidak akan melarikan motor sewaan untuk digadai atau dijual, tapi siapa mau percaya karena warna kulit kami sama coklatnya, rambut sama hitamnya, mata sama beloknya, KTP-pun bertuliskan negara yang sama dengan para penjahat yang suka mengambil barang milik orang lain tanpa ijin itu. Sempat terbersit pikiran iseng...bagaimana jika mengaku sebagai orang Malaysia ? Kan secara fisik sama...uuuh...tapi dialek bahasa tak bisa menipu. Pulang ke penginapan dengan langkah gontai...kami bertanya pada pengurus penginapan apakah punya motor yang disewakan kepada kami. Si pengurus bilang ada motor manual yang bisa dipakai, dan belum sempat kami bilang iya, tiba-tiba pemilik penginapan muncul dan bilang bahwa motornya sudah habis disewa, tidak ada lagi yang tersisa. Ya ampun...di penginapan sendiri-pun, kami tak dipercaya. Tapi, pemilik penginapan masih baik hati. Ia menyuruh kami mencoba di dekat pasar seni. Yah...apa salahnya mencoba. Dengan sedikit perasaan cemas, kami jalan menuju pasar seni. Tepat di samping pasar seni, ada persewaan motor. Si penjaga sedang asyik mendengarkan lagu-lagu dari laptopnya sambil bertelanjang dada. Dan begitu kami menyampaikan keinginan kami untuk pinjam motor, dia langsung bertanya untuk berapa hari. Ah...dia mau menyewakan motornya. Hore! Kami beruntung, masih ada 1 unit motor yang tersisa untuk disewakan, yaitu Yamaha Mio warna putih. Si mas penjaga meminta KTP kami sebagai jaminan dan kami menyerahkan ongkos sewa untuk 2 hari sebesar Rp. 100.000, maka motor-pun berpindah tangan ke kami. Yippie! Akhirnya, ada juga yang menyadari bahwa kami adalah orang baik-baik dan tidak layak untuk diperlakukan berbeda dari orang bule karena sama terpercayanya dengan mereka. 
Target berikutnya setelah kami mendapatkan motor adalah mencari peta. Sayangnya di tempat kami sewa motor tak ada peta yang tersisa dan ia menyarankan kami untuk mencarinya di supermarket. Peta wisata Lombok itu terdapat di buletin Lombok Guide. Setelah mendapatkan peta, maka kami-pun travelling menggunakan motor mencari tempat-tempat yang asyik untuk menikmati pemandangan sore. Tujuan pertama kami adalah Pura yang terletak di pinggir pantai. Pemandangan dari atas pura tersebut sangatlah eksotis dan momen foto-foto narsis pertama kami dilakukan di pura tersebut. Puas berfoto, kami menjelajah pantai lagi hingga sampai di pantai private, yaitu Coco Beach. Ada gugusan karang di pantai tersebut yang merupakan spot yang indah untuk menikmati deburan ombak laut dan tentu saja untuk berfoto narsis. Menikmati rujak buah sambil menunggu matahari terbenam adalah momen terindah sore itu yang kami dapatkan pada hari pertama di Lombok. Menjelang malam, kami-pun berburu makanan untuk mengisi perut yang terasa mudah lapar sejak pertama kali menginjakkan kaki di Lombok. Pilihan kami adalah di sebuah cafe tak jauh dari penginapan yang menjual menu khas Lombok. Kami memilih hidangan laut dan tak lupa plencing kangkung. Rasanya lumayan, tapi yang penting adalah harganya sesuai dengan kantong. Dengan menu yang cukup lumayan banyak untuk ukuran kami berdua, hanya menghabiskan Rp. 60.000. Cukup murah kan mengingat daerah ini adalah daerah wisata dengan banyak turis asing. Berbincang-bincang dengan pramusaji cafe, kami mendapatkan info yang sangat penting, yaitu jika kami jalan lurus dari cafe tersebut maka kami akan mendapatkan Pantai Senggigi. Heh? Kami tersenyum-senyum sendiri...baru sadar bahwa sejak siang tadi kami tiba, kami memang tidak pernah tahu dimana letak persisnya Pantai Senggigi. Menurut perkiraan kami, sepanjang daerah tersebut semuanya adalah Pantai Senggigi, ternyata kami keliru. Akhirnya kami buka peta kembali dan foila...memang benar apa yang dikatakan oleh pramusaji itu. 
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk mencoba ke Pantai Senggigi namun begitu sampai di lokasi, kami urungkan niat. Parkiran pantai Senggigi sangatlah gelap dan tak ada penerangan di pantai sedikitpun, padahal menurut pramusaji, Pantai Senggigi ramai hiburan jika malam tiba. Hmmm...mungkin karena ini masih hari Jumat, maka tak ada hiburan yang digelar di pantai. Kami-pun memutuskan untuk balik kanan, esok saja kami coba lagi. Kami-pun memutuskan untuk melihat-lihat pasar seni di dekat tempat kami menyewa motor. Pasar seni isinya standar dan seperti souvenir-souvenir yang banyak dijumpai di Bali, tak ada yang istimewa menurut kami-bahkan di Jogja-pun banyak dijumpai souvenir serupa. Pasar seni malam itu juga sepi pengunjung seperti halnya Pantai Senggigi. Karena lelah, kami memutuskan untuk tidur cepat, lagipula esok kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk mulai perjalanan ke Gili Trawangan. 

Lesson of the day : Diskriminasi tak hanya diterapkan oleh bangsa penjajah, tapi terkadang juga oleh bangsa sendiri. Stop diskriminasi! Stop mental negara jajahan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar