Beberapa hari ini, saya tertarik mengamati sekumpulan laki-laki yang menimba air dari sumur di pinggir jalan. Sebenarnya ketertarikan saya akan aktivitas mereka sudah sejak dulu, tapi baru terjawab ketika hari libur kemarin di rumah salah seorang teman. Mereka menggunakan jasa para lelaki perkasa ini untuk mensuplai air yang digunakan untuk menyambung hidup sehari-hari, seperti memasak, mandi, dan lain-lain. Dan, harga yang harus dibayar untuk 13 jerigen air ini tergantung dari jarak tempuh sang lelaki perkasa dari sumber air ke rumah-rumah pelanggannya. Teman saya, yang rumahnya berjarak sekitar 4 km dari sumber air harus merogoh kantongnya agak dalam untuk mengeluarkan uang Rp. 40.000. Harga yang sangat mahal untuk air, tapi apa daya...yang dibeli bukan saja air tapi juga tenaga para lelaki perkasa yang menyusuri jalanan aspal panas dengan kaki telanjang.
Air memang sumber kehidupan, tapi saya baru benar-benar menyadarinya ketika berada di Merauke. Topografi Merauke yang berupa dataran rendah dan nyaris dipenuhi oleh rawa menyebabkan Merauke mengalami kesulitan untuk menyediakan air bersih bagi penghuninya. Di beberapa tempat, air tidaklah sulit didapat, tapi ternyata tak layak untuk dikonsumsi karena airnya asin. Ini terjadi di daerah-daerah pinggiran pantai, seperti rumah teman saya. Di tempat-tempat yang bukan pinggiran pantai dan punya sumber air yang baik-pun, tak menjamin airnya layak untuk dikonsumsi, sehingga jasa penyediaan air minum galon-pun laris manis. Di musim hujan, para lelaki perkasa akan sejenak beristirahat karena para pelanggannya memilih untuk menampung air hujan yang tercurah dari langit dalam bak-bak penampungan sehingga mereka bisa berhemat.
Air memang sumber kehidupan. Di Merauke, saya baru menyadari arti penting air dan lebih menghargai jasa orang-orang perkasa yang telah berjalan ribuan kilometer untuk mensuplai air. Sungguh suatu profesi yang mulia dan tak akan pernah lekang oleh waktu, kecuali Indonesia sudah memiliki teknologi canggih untuk menyediakan air bersih dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakatnya.
Jd inget jaman KKN dulu, Deb.. Harga air di Gunung Kidul kalo nggak salah 25rb/galon. Termasuk mahal, apalagi untuk ukuran penduduk Gunung Kidul. Kita yang KKN sampai nggak tega pakainya. Akhirnya baju-baju kotor itu ditumpuk trus baru dibawa pulang 2 minggu sekali. Jatah pulang ke Jogja yg cuma 2 hari itu, 1 harinya dimanfaatin untuk nyuci. Hehehe..
BalasHapus