Rabu, 29 April 2009

Suka Duka jadi Rekruter di Pedalaman (2)

Menjadi seorang rekruter sebenarnya bukanlah pekerjaan impian saya, tapi karena proses pembelajaran dan pengaruh lingkungan ketika saya kuliah, maka akhirnya saya-pun terjerumus ke dalam dunia rekrutmen. Dan, pekerjaan profesional pertama saya adalah sebagai Recruitment Staff. Mungkin karena saya memiliki jiwa adventurir, saya mudah bosan pada pekerjaan rekrutmen yang memang cukup monoton jika dibandingkan dengan area lain dalam bidang Human Resource. Dan sebagai akibatnya, saya sering melirik-lirik area HR yang lain, seperti training dan pengembangan organisasi. Namun, pandangan saya akan pekerjaan rekrutmen yang monoton berubah ketika saya bekerja di Merauke. Rekrutmen tidak saja sekedar pekerjaan mempublikasikan lowongan dan kemudian menseleksi, tapi juga sebuah pekerjaan memberdayakan masyarakat. Dan, alih-alih rekrutmen sebagai pekerjaan yang monoton, rekrutmen-pun jadi pekerjaan yang penuh dengan resiko.

Bekerja sebagai seorang rekruter di Merauke harus memiliki teknik mengelola emosi yang baik karena berhadapan dengan pelamar kerja dan calon karyawan membutuhkan kesabaran yang ekstra mengingat rata-rata SDM di Merauke jarang yang bekerja di sektor formal sehingga banyak dari pelamar yang tidak memahami prosedur rekrutmen dan seleksi. Selain itu, bekerja sebagai rekruter di Merauke juga harus siap diserang dengan isu rasialis. Seperti daerah-daerah Indonesia Timur lainnya, Merauke adalah daerah yang memiliki potensi Sumber Daya Alam yang cukup besar, namun tidak semuanya dapat dinikmati oleh penduduk asli, seperti halnya kasus Freeport karena ketika sebuah perusahaan besar masuk, maka SDM lokal banyak dikalahkan oleh SDM pendatang.

Bulan pertama saya bekerja di Merauke, saya didemo oleh belasan pelamar kerja. Mereka menuntut saya untuk mempekerjakan orang asli. Muka saya ditunjuk-tunjuk. Duh...mau copot rasanya jantung ini!

Ibu ini pilih-pilih orang yang masuk. Yang diterima selalu yang berambut lurus, kulit putih. Kalau begitu...ganti saja nama perusahaan ini jadi M**** Jawa.


Saya terkejut mendengar tuntutan mereka karena tak pernah terlintas sedikit-pun bahwa perusahaan kami akan menerapkan diskriminasi ras seperti yang mereka tuduhkan, bahkan dari awal kami sudah diwanti-wanti oleh BOD untuk memprioritaskan tenaga lokal karena tidak ingin menjadi Freeport kedua. Tapi, rupanya bekerja di daerah Indonesia Timur memang tak semudah di Indonesia Barat, terutama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat lokal. Saya sudah beratus-ratus kali menyampaikan pada mereka bahwa kami tidak melakukan diskriminasi, dan kami melakukan rekrutmen berdasarkan keahlian, tapi apa yang saya sampaikan rupanya hanya dipahami dalam waktu singkat saja. Beberapa minggu kemudian bisa dipastikan mereka akan menyatroni kantor lagi untuk menuntut pekerjaan. Posisi saya jadi terjepit karena mereka yang menuntut pekerjaan rata-rata tidak memiliki pengalaman atau jika ada, memiliki attitude yang kurang baik dan banyak yang tidak memenuhi syarat pekerjaan, seperti tingkat pendidikan dan usia. Sampai dengan saat ini, saya masih belum menemukan cara yang efektif untuk memberikan pemahaman pada mereka bahwa perusahaan merekrut berdasarkan kompetensi dan ada prosedur-prosedur yang harus ditaati dalam penyelenggaraan rekrutmen.

Adakah yang bisa memberikan saran untuk saya ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar