Jumat, 30 Oktober 2009

The Devil Wears Prada

Beberapa waktu yang lalu, saya iseng-iseng membuka kumpulan tulisan saya yang telah lampau. Dan, saya menemukan sebuah tulisan yang cukup bagus *narsis banget ya...memuji tulisan sendiri* tentang sebuah film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama. Dan, inilah tulisan lampau saya .....

The Devil Wears Prada menceritakan tentang kehidupan seorang wanita yang baru saja lulus dari Fakultas Hukum, Standford University. Dia pintar, cantik, dan sangat berbakat dalam bidang jurnalistik. Impiannya adalah menjadi seorang jurnalis. Namun impian tidaklah mudah untuk didapatkan. Ia diterima bekerja di majalah Runaway, tapi sayangnya bukan sebagai jurnalis. Ia diterima sebagai assisten kedua sang pemimpin tertinggi di majalah itu, Miranda Priestly. Ups…saya lupa menyebutkan nama wanita yang beruntung mendapatkan pekerjaan yang diinginkan oleh jutaan gadis di seluruh dunia itu ya? Namanya Andrea Sachs atau Andy. Andy mengalami gagap budaya berada di lingkungan kerja barunya karena disana semua karyawannya modis dan trendy, sementara Andy adalah wanita yang konservatif dalam berpenampilan. Belum lagi, sang bos adalah tipe wanita berdarah dingin yang menggunakan manajemen by ‘pokokmen piye carane’ alias bagaimana caranya harus dapat/harus bisa. Dia tidak peduli kalau assistennya harus jungkir balik atau hampir mati sekalipun, asalkan semua permintaannya terpenuhi tanpa cacat dan tepat waktu. Hal-hal itu membuat Andy stress. Namun, bukan Andy namanya kalau tidak mampu mengatasi masalahnya dengan baik karena ia adalah seorang yang ulet dan memiliki motivasi kerja yang tinggi. Sedikit demi sedikit, Andy mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mampu membuat si boss terkesan, bahkan ia mendapatkan penghormatan tertinggi untuk seorang assisten, yaitu mendampingi bos menghadiri gala pameran busana di Paris, mengalahkan assiten pertama. Tapi, prestasi yang diraih Andy menuntut pengorbanan tertentu, yaitu kehidupan pribadinya. Hubungannya dengan kekasih dan teman-temannya hancur berantakan karena ia tidak mampu lagi memberikan waktu bagi mereka, seluruh hidupnya tersedot sebagai pelayan bos. Suatu hari, Andy menyadari bahwa pekerjaan ini bukanlah impiannya dan ia telah kehilangan segalanya sehingga ia-pun memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya di puncak kesuksesannya. Ia kembali menekuni impiannya, menjadi jurnalis. Andy berani meninggalkan pekerjaan yang menjadi impian semua gadis demi sebuah aktualisasi diri.

Sebuah film yang menarik, kan? Film ini seperti refleksi kehidupan bagi saya: kisahnya, perjuangan tokohnya, dan konfliknya. Yang berbeda adalah saya belum mencapai ending yang membahagiakan seperti Andy karena bagaimanapun durasi film dan kehidupan nyata sangat berbeda jauh. Saya jadi teringat pada masa-masa awal saya bekerja setelah lulus kuliah. Lulus kuliah terlambat dari waktu yang ditentukan membuat saya sempat ‘goyah’ dan kurang PD untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Penolakan demi penolakan membuat saya terjebak dan akhirnya menerima tawaran apapun, asalkan mendapatkan pekerjaan meskipun kurang sesuai dengan minat dan kemampuan saya. Namun, ambisi dan keinginan untuk segera hidup mandiri membuat saya melupakan cita-cita yang pernah tergantung setinggi langit. Hari demi hari dijalani dengan penuh kekosongan sampai pada akhirnya seorang bos berkata pada saya, “Apa yang kamu cari, Deb?” Yup…apa yang saya cari? Dalam 3 tahun, 3 kali berganti pekerjaan bukanlah suatu rekor yang bagus. Saya tidak mampu bertahan lebih dari 1,3 tahun dalam sebuah perusahaan karena saya sangat mudah bosan. Kutu loncat, kata orang-orang. Saya-pun belum menemukan nikmatnya bekerja, belum merasakan gairah yang meluap-luap dalam bekerja karena semua saya jalani demi sebuah keharusan, yaitu keharusan untuk bertahan hidup. Saya menjalani pekerjaan yang diinginkan oleh semua orang, tapi tidak oleh saya sendiri meskipun saya mampu melakukannya dengan cukup baik. Ini bukanlah seperti yang saya impikan!

Lalu mengapa tidak keluar saja seperti Andy? Hmmm…sekali lagi, hidup saya bukanlah film yang endingnya bisa ditebak atau diciptakan. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah hidup saya dan saya tidak cukup berani untuk mengambil resiko mengubah haluan dari apa yang saya jalani sekarang. Saya tidak berani untuk berhenti bekerja tanpa mendapatkan kepastian akan keberlangsungan hidup saya. Dalam bekerja, rupanya saya masih berada dalam hirarki Maslow pertama, yaitu berusaha memenuhi kebutuhan dasar, bukan berusaha untuk mengaktualisasikan diri.

Jadi, kapan saya bisa seperti Andy? Saya kira jawabannya adalah ketika saya tidak lagi membiarkan diri saya mengikuti arus-let it flow!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar