Sabtu, 08 Agustus 2009

Suka Duka jadi Rekruter di Pedalaman (6)

Saya tidak tahu apakah yang saya alami ini hanya terjadi di kota-kota kecil, seperti Merauke ini ataukah juga terjadi di kota-kota besar, macam Jakarta, tapi yang jelas kejadian ini baru saya alami ketika bekerja di Merauke. Ada seorang karyawan yang sangat gigih memasukkan anggota keluarganya ke perusahaan dengan berbagai macam posisi. Mulai dari perawat, sopir hingga mekanik. Hmmm...oke, itu juga banyak terjadi di perusahaan-perusahaan lain. Tapi, yang buat unik adalah yang memasukkan lamaran hingga memfollow up lamaran adalah istri karyawan yang usianya sudah relatif tua. Sementara anak dan menantunya yang melamar kerja, tak pernah sama sekali nongol di kantor untuk mem-follow up lamarannya. Bahkan pernah suatu kali, saya memanggil si menantu untuk wawancara di kantor...eh...yang datang malahan si ibu mertua a.k.a istri karyawan. Saya tentu saja terkejut dan ketika saya tanya kenapa ibu datang kesini, dia jawab, "Tadi ada panggilan untuk si X tapi kurang jelas, bu. Saya mau tanya kapan dia dipanggil?" Ya ampun! Kenapa tidak si menantu yang datang untuk konfirmasi? Kenapa juga harus ibu mertuanya yang sudah renta yang harus datang tergopoh-gopoh ke kantor untuk bertanya? Apakah sang menantu tidak punya keberanian ? Fiuh...saya rasa karyawan saya dan istrinya telah salah mengambil menantu!
Kemudian, ketika hari wawancara tiba...lagi-lagi si ibu mertua yang datang menemui saya, "Ibu, hari ini tho wawancaranya? Itu si X sudah datang!" Please deh...umur sudah 35 tahun, badan seperti preman, tapi datang wawancara saja diantar oleh mertuanya, padahal rumahnya di belakang kantor. *tuing...ingin rasanya mengospek si menantu agar punya semangat juang*

Masih cerita yang sama tentang si X, si menantu kurang ajar itu. Ketika si X menerima gaji untuk pertama kalinya, dia datang kepada saya untuk bertanya apakah gajinya bisa diambil oleh keluarganya. Tentu saja saya bilang tidak bisa, dan meminta dia untuk membuat rekening di bank rekanan kami. Ternyata, dia punya rekening dan meminta ijin untuk mengambilnya. Tak selang berapa lama, tiba-tiba ada seorang wanita yang datang menghampiri saya dan mengaku istri si X. Ya ampun...memang parah benar si X ini...selalu sembunyi di balik wanita-wanita perkasa yang membuat hidupnya nyaman. Saya-pun akhirnya menceramahi istrinya bahwa harusnya yang datang menghadap saya itu suaminya sebagai karyawan, bukan keluarganya. *tentu saja dengan gaya ketus khas saya. hehehehe...* Dan, anda tahu...yang diberikan ke saya bukan rekening atas nama sang karyawan alias sang menantu kurang ajar alias si X, tapi rekening istrinya. OMG!

Anak karyawan tidak lebih baik dari si menantu. Yang menyerahkan lamaran ke kantor adalah ibunya dan ibunya pula yang setia menyatroni kantor nyaris tiap hari untuk menanyakan perkembangan lamaran anaknya. Duh...ibu, harusnya anda duduk manis saja di rumah...biarkan para lelaki Anda yang bekerja keras membanting tulang, karena itulah gunanya Anda memiliki anak laki-laki! Saya-pun jadi bertanya-tanya dan menduga bahwa ada yang salah pada cara membesarkan anak di keluarga karyawan itu karena tidak saja anak dan menantu yang membuat si ibu harus bolak-balik ke kantor, tapi juga sang suami. Istri karyawan ini sering bolak balik ke kantor untuk mengurus keperluan kerja suaminya, mulai dari mengurus kredit motor sampai mengurus kartu jamsostek. Hmmm...tak terbayangkan jika keluarga itu nanti kehilangan si ibu! *mudah-mudahan si ibu diberikan kesehatan dan umur panjang*
Tapi, ada hikmahnya juga si buat saya karena sering berhubungan dengan si ibu. Saya diberi souvenir berupa gantungan kunci dan miniatur rumah semut. Yipie!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar