Kamis, 23 September 2010

Bebas berekspresi butuh kompromi ?

Semalam, tanpa sengaja pacar saya membaca draft novel yang belum selesai saya buat. Dan di luar dugaan saya, dia cukup tersinggung dan marah membaca draft novel tersebut. Wajar sih jika dia marah karena novel tersebut bercerita tentang seputar kisah kehidupan saya sendiri di tanah rantau, dan menitik beratkan pada masalah asmara. Yang menjadi masalah adalah saya baru menyelesaikan novel saya sampai pada bab 3 yang tentu saja belum ada cerita tentang dirinya, tapi masih pada pertemuan dengan pacar lama. Rasa cemburu karena dirinya tak disebut atau mungkin lebih tepatnya adalah merasa dipermainkan karena saya masih mengingat dengan cukup baik kisah asmara lama saya membuatnya cepat naik darah dan tidak menyadari bahwa yang dibacanya adalah masih draft novel dan baru sampai pada bab 3/awal, memang belum sampai pada kisah tentang dirinya. Dan sebenarnya cerita itu bukan tentang murni asmara, tapi perjuangan seorang wanita mandiri yang terjebak dalam kisah asmara yang membelenggu kebebasannya karena pasangan yang terlalu over protektif. Bagaimana dia berkompromi dengan pasangannya yang beda budaya agar hubungan tetap berlangsung dan bagaimana dia harus mengesampingkan perasaannya sendiri untuk membuat pasangannya bahagia. Tema yang menurut saya sangat feminis.

Yah tapi apa boleh buat...saya sepertinya harus merubah tema novelnya agar tidak menambah masalah. Baru saya sadari bahwa menulis-pun ternyata harus mempertimbangkan perasaan orang lain juga karena siapa tahu kisah yang kita tulis memiliki kemiripan dengan kisah orang lain. Jadi menulis tak boleh egois dan harus berpandangan luas agar tulisan dapat diterima oleh semua orang tanpa konflik emosi yang tak perlu, seperti tersinggung atau marah, kecuali memang ingin membuat tulisan dengan tujuan memprovokasi. Mungkin itu sebabnya di setiap film atau sinetron selalu ada kata penutup demikian :
'semua nama, tokoh dan kisah di dalam film ini adalah fiktif semata, jika terdapat kesamaan dengan nama, tokoh dan kisah maka itu hanyalah kebetulan saja'
Rupanya kalimat yang terkesan basa basi itu sebenarnya adalah untuk menegaskan bahwa cerita dibuat murni karena keliaran imajinasi pembuat ceritanya saja dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak-pihak tertentu. Kebebasan berekspresi melalui tulisan-pun ternyata membutuhkan sebuah kompromi. 

Apakah tulisan Anda hari ini sudah mempertimbangkan aspek perasaan pembaca Anda yang beragam ?

1 komentar:

  1. trus apa novel itu sudah finis dan di publish?saya ingin membacanya.

    BalasHapus