Bekerja di perusahaan yang sekarang sangatlah jauh berbeda iklimnya dengan perusahaan saya sebelumnya. Di perusahaan saya sebelumnya, yaitu perusahaan media terkemuka di Indonesia, iklim intelektualitas sangatlah terasa. Di setiap sudut ruangan selalu berhembus aroma diskusi dan begitu banyak kosakata yang terhambur dari para pekerjanya. Sementara di perusahaan yang sekarang, jangankan diskusi, kosakata yang dipakai-pun sangatlah terbatas pada pekerjaan sehari-hari dan bahasa pergaulan sehari-hari, tak bertambah pengetahuan. Kerinduan akan suasana diskusi-pun tak pelak hadir dalam hati saya setiap waktu. Dulu, saya bisa betah ngobrol panjang lebar dengan supervisor serta manager saya hingga tak terasa waktu berjam-jam terlewati begitu saja. Obrolan bisa mulai dari tentang konsep HRD, psikologi manusia, hingga bergosip tentang para pekerja di kantor. Salah satu keuntungan menjadi HRD adalah bisa membicarakan karyawan lain dengan bebas tanpa merasa bersalah, sedangkan jika departemen lain membicarakan kinerja karyawan lain di luar departemennya bisa dianggap bergosip. He he he... Eniwei, saya betul-betul rindu akan suasana sharing ide seperti dulu. Pengetahuan saya berkembang, sel-sel otak saya-pun dirangsang terus untuk selalu berpikir sehingga otak saya hidup...terasa berdenyut bergairah. Setiap orang punya idenya masing-masing dan bisa menyanggah serta mengkritik ide yang lain dengan bertanggung jawab. Saya paling sering kalah argumen dengan manager saya, dia memang pintar luar biasa. Dia punya berbagai macam sudut pandang sehingga sulit dikalahkan argumennya, tapi dia sedikit kewalahan jika harus berdebat dengan supervisor saya yang 'kutu buku'. Kata-kata indah dan cuplikan-cuplikan teori dari buku-buku tebal dan tokoh-tokoh terkenal-pun meluncur dengan indah dari mulut mereka berdua. It's amazing to hear that...! Perdebatan mereka ibarat dua ksatria yang tengah berperang namun senjatanya bukan pedang, melainkan kata-kata. Kalau sudah begitu, saya yang mengaku gemar membaca selalu tak pernah bisa mengutip atau bahkan mengingat dengan baik siapa membuahkan teori apa atau teori apa dibuat oleh siapa. Jika dibandingkan dengan mereka berdua, saya memang bagaikan bayi baru lahir. Alhasil dengan iklim yang seperti itu, berbagai ide dan konsep-pun lahir dengan mulus dan tak pernah mati.
Namun keadaan ini berbeda 180 derajat dengan perusahaan saya sekarang. Boss saya adalah tipe pragmatis yang lebih suka menjadi tipe pelaksana daripada konseptor sehingga hanya membuka ruang yang sangat sedikit untuk diskusi panjang lebar. Jangankan ngobrol panjang lebar tentang sesuatu hal, diskusi melalui dunia maya-pun tak terfasilitasi. Alhasil, pengetahuan saya mandeg, saya tumbuh bak katak dalam tempurung. Saya tak tahu apa yang saya lakukan ini memang sudah benar atau masih salah karena saya tak pernah diberikan feed back ataupun kritik yang membangun dan juga tak ada kesempatan untuk membandingkan dengan katak-katak di luar tempurung. Saya seringkali jengkel bukan main kalau ingin mengawali diskusi dengan departemen lain atau sesama rekan kerja dalam tim langsung di-cut oleh atasan saya itu. Menurutnya, diskusi tak ada gunanya. Fiuh! Sungkan untuk mengakui bahwa diri sendiri tak mampu, diri sendiri tak tahu sehingga harus bertanya pada pihak lain, yang mungkin menyebabkan boss saya tak mau membuka ruang diskusi. Yang lebih menjengkelkan adalah boss saya seringkali menolak ide-ide besar untuk perubahan ke arah yang lebih baik jika dirasa itu merepotkan dan kadang kala resistensinya itu adalah sikap yang tak pantas ditunjukkan oleh seorang leader dari departemen yang dituntut untuk selalu dinamis seperti HRD.
Saya selalu tertantang untuk melakukan segala sesuatu, termasuk bekerja di daerah remote area seperti sekarang. Tapi apa jadinya jika akhirnya sel otak saya mati karena tak pernah mendapatkan stimulus ? Akankah otak saya mati sia-sia di tengah hutan belantara ini ?
Dibutuhkan segera : TEMAN DISKUSI !!!!!
hal yang sama juga saya rasakan. mari kita bongkar sekat yang dibuatnya.
BalasHapus